Sejak
November hingga Desember ini, Indonesia mulai memasuki masa di mana curah hujan
begitu tinggi. Entah suatu kebetulan atau tidak, di penghujung tahun ini
sepakbola Indonesia pun memasuki masa hujan air mata menyusul rentetan hasil
buruk maupun kejadian yang memilukan.
Periode
duka di sepakbola Indonesia di mulai ketika dari layar kaca kita menyaksikan
bagaimana Timnas kita meraih hasil imbang 2-2 di AFF Cup 2012 yang di helat di
Malaysia saat mengahadapi langganan lumbung gol di masa lalu yaitu Laos. Awan
duka sepertinya akan menjauh ketika di
partai kedua Timnas mampu memutus kutukan dengan mengalahkan Singapura
1-0. Persetan, mereka yang mencibir
bahwa kita menang karena keberuntungan, toh malam itu papan skor di Bukit Jalil
tidak sedang rusak dan skor 1-0 hingga 90 menit benar-benar nyata dan kita
dapat poin 3 dari Singapura. Tiba lah partai ketiga yang mempertemukan dua
musuh besar serumpun yaitu Malaysia. Timnas Garuda butuh hasil imbang untuk
kemudian siap menggelar semifinal yang memakai sistem home away di Jakarta.
Tapi malam itu di Bukit Jalil, Timnas Garuda yang kita harapkan tercabik-cabik
oleh tajam nya cakaran Harimau Malaya. Kita di tekuk dua gol tanpa balas. Kita
gagal ke semifinal yang berarti mengubur dalam-dalam impian juara. Timnas
Indonesia lagi-lagi berhasil mengecewakan ratusan juta pendukung nya.
Belum
berlalu dari kesedihan atas kegagalan di Malaysia, publik sepakbola di tanah
air kembali di kejutkan dengan berita meninggal nya Diego Mendieta. Buat saya
pribadi ini bukan lah sekedar kematian pesepakbola yang bisa di anggap sebagai
hal wajar atau biasa. Kasus Mendieta adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang
harus di cermati secara kritis. Mendieta yang berusia 32 tahun asal Paraguay
terakhir kali tercatat sebagai pemain dari tim Persis Solo. Dia meninggal
karena sakit komplikasi dan tak mampu membayar biaya pengobatan. Gajinya yang
belum terbayar sekitar 100 juta lebih sudah tertunggak selama berbulan bulan.
Setelah sempat keluar masuk rumah sakit, Diego Antonio Mendieta Romero di
Assuncion akhirnya menghembuskan nafas
terakhirnya pada selasa dinihari di RS Moewardi Solo-Jawa Tengah.
Jika
di cermati, permintaan Mendieta di akhir hayat nya adalah apa yang seharusnya
memang menjadi hak nya sebagai seorang pemain sepakbola. Ia menuntut pembayaran
gajinya dari sebuah klub yang memang memakai jasa nya sebagai seorang pemain. Ia butuh gajinya itu agar ia bisa pulang ke
Paraguay untuk bertemu anak, istri serta ibunya. Kalaupun ia memang di
takdirkan meninggal di usinya yang ke 32 tahun, ia ingin meninggal di tanah
kelahiran nya, bukan di Indonesia. Tapi nasib berkata lain. Mendieta
menghembuskan nafas terakhirnya dengan memendam rindu. Meninggalkan seorang
istri dan tiga anaknya di Paraguay. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana rasa
sakit hati dari ketiga anaknya ketika mereka dewasa nanti jika mengetahui bahwa
mereka kehilangan seorang ayah yang sakit dan tak mendapat hak nya di sebuah
negara yang katanya ramah namun tidak becus dalam mengurus sepakbola. Saya,
anda atau ratusan juta rakyat Indonesia mungkin tak semuanya mengenal dan
pernah bertemu Mendieta. Tapi, hati siapa yang tak pilu ketika mendengar
seorang warga negara asing yang bekerja di sini wafat karena tak mampu membayar
biaya pengobatan lantaran gajinya belum di bayar.
Sesulit
itukah melindungi nyawa para pesepakbola di Indonesia??? Padahal, asuransi jiwa
mulai dari yang 3 jutaan per tahun bertebaran dimana mana. Dana yang tersimpan
itu pun tidak hilang, malah akan berkembang seiring berjalan nya waktu.
Tidakkah agen pemain, para manajemen klub, atau orang orang di federasi sana
pernah memikirkan hal tersebut??? Sementara itu, dua kubu yang merasa paling
sah dan saat ini masih terus bertikai mulai bersiap untuk lepas tangan.PSSI dan
KPSI saling tunjuk hidung dan lempar tanggung jawab. Jika memang seperti ini
ada nya mental para orang-orang yang mengurusi sepakbola di republik ini, saya
sarankan untuk mulai saat ini berhentilah bermimpi Timnas kebanggaan kita bisa menjadi juara…!!!
Ketika
pihak-pihak yang berlabel para pengurus sepakbola di atas sana sama sekali tak
bisa di andalkan, jangan lupakan satu elemen lain dari sepakbola yang justru
berisikan orang-orang loyal dan fanatik bernama, suporter. Mereka yang menamai
diri nya suporter justru adalah sekumpulan orang tulus dan rela melakukan apa
saja demi sebuah klub yang di cintai. Dalam kasus Mendieta, saya sangat memuji
tinggi atas apa yang sudah di lakukan para Pasoepati dengan menggalang dana di
acara nonbar AFF Cup dengan tujuan meringankan beban biaya atas pengobatan
Mendieta. Dengan segala keterbatasan, mereka masih mampu menunjukan rasa empati
yang luar biasa terhadap Mendieta. Mereka yang menyumbang tak berharap apapun
kecuali melihat Mendieta sembuh dan bermain lagi untuk tim kebanggaan yang
justru berisi orang-orang manajemen klub dengan tingkah memalukan. Saya malah
sama sekali tidak menaruh rasa hormat untuk orang orang PSSI maupun KPSI yang
sama sekali tak peduli dan malah sedang bersiap untuk bertarung di kongres
mendatang.
Untuk
satu kongres yang tergelar, pengeluaran bisa mencapai ratusan juta bahkan
milyaran. Jika sebagian kecil saja dari pengeluaran itu di alokasikan kepada
Mendieta, mungkin saat anda membaca tulisan ini nasib Mendieta bisa seberuntung
Fabrice Muamba, pemain Bolton yang berhasil selamat dari maut karena penanganan
yang cepat dan professional. Jika sudah seperti ini, masih adakah nadir yang
lebih rendah di sepakbola kita pada hari-hari belakangan ini? Atau malah beberapa pekan ke depan PSSI dan KPSI masih mau menyajikan sesuatu
yang menjijikan melalui kongres yang hanya membuang buang uang?
Orang
Indonesia sudah terbiasa berucap “ semoga ini untuk yang terakhir kalinya”.
Pada akhirnya, sesampainya di rumah kita sendiri lupa dan kejadian serupa harus
terulang kembali. Saat akhirnya tulisan
ini anda baca, saya sedang berharap semoga Federasi Pesepak Bola Profesional Dunia
( FIFPro ) benar-benar secara serius membawa masalah Mendieta ini ke FIFA dan
memasukkan nya ke dalam agenda Rapat Komite Eksekutif yang akan di gelar di
Tokyo pada 14 Desember 2012 mendatang. Semoga FIFA mengambil tindakan tegas
atas kasus manusia yang bernama Mendieta yang justru tidak di perlakukan
layaknya manusia. Kalau memang harus di hukum, hukumlah seberat beratnya! Agar
kepergian Mendieta tidak menjadi sesuatu yang sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar