Jumat, 07 Desember 2012

Sepakbola Indonesia Berduka








Sejak November hingga Desember ini, Indonesia mulai memasuki masa di mana curah hujan begitu tinggi. Entah suatu kebetulan atau tidak, di penghujung tahun ini sepakbola Indonesia pun memasuki masa hujan air mata menyusul rentetan hasil buruk maupun kejadian yang memilukan.

Periode duka di sepakbola Indonesia di mulai ketika dari layar kaca kita menyaksikan bagaimana Timnas kita meraih hasil imbang 2-2 di AFF Cup 2012 yang di helat di Malaysia saat mengahadapi langganan lumbung gol di masa lalu yaitu Laos. Awan duka sepertinya akan menjauh ketika di  partai kedua Timnas mampu memutus kutukan dengan mengalahkan Singapura 1-0.  Persetan, mereka yang mencibir bahwa kita menang karena keberuntungan, toh malam itu papan skor di Bukit Jalil tidak sedang rusak dan skor 1-0 hingga 90 menit benar-benar nyata dan kita dapat poin 3 dari Singapura. Tiba lah partai ketiga yang mempertemukan dua musuh besar serumpun yaitu Malaysia. Timnas Garuda butuh hasil imbang untuk kemudian siap menggelar semifinal yang memakai sistem home away di Jakarta. Tapi malam itu di Bukit Jalil, Timnas Garuda yang kita harapkan tercabik-cabik oleh tajam nya cakaran Harimau Malaya. Kita di tekuk dua gol tanpa balas. Kita gagal ke semifinal yang berarti mengubur dalam-dalam impian juara. Timnas Indonesia lagi-lagi berhasil mengecewakan ratusan juta pendukung nya.

Belum berlalu dari kesedihan atas kegagalan di Malaysia, publik sepakbola di tanah air kembali di kejutkan dengan berita meninggal nya Diego Mendieta. Buat saya pribadi ini bukan lah sekedar kematian pesepakbola yang bisa di anggap sebagai hal wajar atau biasa. Kasus Mendieta adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang harus di cermati secara kritis. Mendieta yang berusia 32 tahun asal Paraguay terakhir kali tercatat sebagai pemain dari tim Persis Solo. Dia meninggal karena sakit komplikasi dan tak mampu membayar biaya pengobatan. Gajinya yang belum terbayar sekitar 100 juta lebih sudah tertunggak selama berbulan bulan. Setelah sempat keluar masuk rumah sakit, Diego Antonio Mendieta Romero di Assuncion  akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada selasa dinihari di RS Moewardi Solo-Jawa Tengah.

Jika di cermati, permintaan Mendieta di akhir hayat nya adalah apa yang seharusnya memang menjadi hak nya sebagai seorang pemain sepakbola. Ia menuntut pembayaran gajinya dari sebuah klub yang memang memakai jasa nya sebagai seorang pemain.  Ia butuh gajinya itu agar ia bisa pulang ke Paraguay untuk bertemu anak, istri serta ibunya. Kalaupun ia memang di takdirkan meninggal di usinya yang ke 32 tahun, ia ingin meninggal di tanah kelahiran nya, bukan di Indonesia. Tapi nasib berkata lain. Mendieta menghembuskan nafas terakhirnya dengan memendam rindu. Meninggalkan seorang istri dan tiga anaknya di Paraguay. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana rasa sakit hati dari ketiga anaknya ketika mereka dewasa nanti jika mengetahui bahwa mereka kehilangan seorang ayah yang sakit dan tak mendapat hak nya di sebuah negara yang katanya ramah namun tidak becus dalam mengurus sepakbola. Saya, anda atau ratusan juta rakyat Indonesia mungkin tak semuanya mengenal dan pernah bertemu Mendieta. Tapi, hati siapa yang tak pilu ketika mendengar seorang warga negara asing yang bekerja di sini wafat karena tak mampu membayar biaya pengobatan lantaran gajinya belum di bayar.

Sesulit itukah melindungi nyawa para pesepakbola di Indonesia??? Padahal, asuransi jiwa mulai dari yang 3 jutaan per tahun bertebaran dimana mana. Dana yang tersimpan itu pun tidak hilang, malah akan berkembang seiring berjalan nya waktu. Tidakkah agen pemain, para manajemen klub, atau orang orang di federasi sana pernah memikirkan hal tersebut??? Sementara itu, dua kubu yang merasa paling sah dan saat ini masih terus bertikai mulai bersiap untuk lepas tangan.PSSI dan KPSI saling tunjuk hidung dan lempar tanggung jawab. Jika memang seperti ini ada nya mental para orang-orang yang mengurusi sepakbola di republik ini, saya sarankan untuk mulai saat ini berhentilah bermimpi  Timnas kebanggaan kita bisa menjadi juara…!!!

Ketika pihak-pihak yang berlabel para pengurus sepakbola di atas sana sama sekali tak bisa di andalkan, jangan lupakan satu elemen lain dari sepakbola yang justru berisikan orang-orang loyal dan fanatik bernama, suporter. Mereka yang menamai diri nya suporter justru adalah sekumpulan orang tulus dan rela melakukan apa saja demi sebuah klub yang di cintai. Dalam kasus Mendieta, saya sangat memuji tinggi atas apa yang sudah di lakukan para Pasoepati dengan menggalang dana di acara nonbar AFF Cup dengan tujuan meringankan beban biaya atas pengobatan Mendieta. Dengan segala keterbatasan, mereka masih mampu menunjukan rasa empati yang luar biasa terhadap Mendieta. Mereka yang menyumbang tak berharap apapun kecuali melihat Mendieta sembuh dan bermain lagi untuk tim kebanggaan yang justru berisi orang-orang manajemen klub dengan tingkah memalukan. Saya malah sama sekali tidak menaruh rasa hormat untuk orang orang PSSI maupun KPSI yang sama sekali tak peduli dan malah sedang bersiap untuk bertarung di kongres mendatang.

Untuk satu kongres yang tergelar, pengeluaran bisa mencapai ratusan juta bahkan milyaran. Jika sebagian kecil saja dari pengeluaran itu di alokasikan kepada Mendieta, mungkin saat anda membaca tulisan ini nasib Mendieta bisa seberuntung Fabrice Muamba, pemain Bolton yang berhasil selamat dari maut karena penanganan yang cepat dan professional. Jika sudah seperti ini, masih adakah nadir yang lebih rendah di sepakbola kita pada hari-hari belakangan ini?  Atau malah beberapa pekan ke depan  PSSI dan KPSI masih mau menyajikan sesuatu yang menjijikan melalui kongres yang hanya membuang buang uang?

Orang Indonesia sudah terbiasa berucap “ semoga ini untuk yang terakhir kalinya”. Pada akhirnya, sesampainya di rumah kita sendiri lupa dan kejadian serupa harus terulang kembali.  Saat akhirnya tulisan ini anda baca, saya sedang berharap semoga Federasi Pesepak Bola Profesional Dunia ( FIFPro ) benar-benar secara serius membawa masalah Mendieta ini ke FIFA dan memasukkan nya ke dalam agenda Rapat Komite Eksekutif yang akan di gelar di Tokyo pada 14 Desember 2012 mendatang. Semoga FIFA mengambil tindakan tegas atas kasus manusia yang bernama Mendieta yang justru tidak di perlakukan layaknya manusia. Kalau memang harus di hukum, hukumlah seberat beratnya! Agar kepergian Mendieta tidak menjadi sesuatu yang sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar