Jumat, 21 September 2012

Jangan Hanya Slogan







Sabtu 15 September 2012. QPR vs Chelsea di Loftus Road. Partai yang menarik untuk di saksikan karena akan menjadi partai debut untuk Julio Cesar yang di datangkan dari Inter Milan. Partai ini juga akan menjadi partai penuh emosional untuk Anton Ferdinand, John Terry dan Ashley Cole. Tiga nama pemain asli Inggris itu memiliki masalah yang tercipta di musim lalu dan masalah yang melibatkan mereka bertiga adalah masalah yang begitu sensitif yaitu, rasisme. Saya pribadi dan penggemar sepakbola lain nya tentu sangat menantikan momen sebelum laga dimana para pemain dari kedua tim di “haruskan” saling berjabat tangan. Dan benar saja, Ferdinand dengan sengaja melewatkan John Terry yang mengulurkan tangan nya untuk bersalaman. Ferdinand pun melakukan hal yang sama ketika tiba giliran nya ia berhadapan dengan Ashley Cole. Tak ada jabat tangan antara Ferdinand-Terry atau Ferdinand-Cole. Saya terhenyak. Lalu mulai mempertanyakan mengapa pemain kelas professional seperti mereka bertingkah seperti anak kecil. Ferdinand mungkin dendam dan masih menyimpan akar pahit atas apa yang pernah Terry ucapkan padanya. Tapi, sadarkah Ferdinand jika ia masuk ke lapangan setelah bendera “FIFA Fair Play” masuk terlebih dahulu yang menandakan bahwa semua pemain yang terlibat dalam pertandingan harus menjunjung spotifitas? Tak sadarkah ia jika saat itu ia menggandeng anak kecil dan seharusnya memberi contoh sportifitas yang baik bagi generasi muda itu? Rasa keheranan saya makin menjadi ketika menyaksikan apa yang terjadi antara Ferdinand dan Cole. Ferdinand dengan sengaja melewatkan Cole dan menolak berjabat tangan dengan nya. Dan di detik yang sama ketika Ferdinand melewatkan dirinya begitu saja, Cole langsung meludah kearah belakang barisan pemain Chelsea. Dan dengan jelas terlihat bahwa aksi Cole tersebut adalah suatu aksi pertanda kekesalan nya terhadap Ferdinand. Dua aksi yang tergolong pengecut itu terekam kamera televisi dan tentunya di saksikan jutaan pasang mata penikmat sepakbola. Bermain di level sepakbola tinggi seperti EPL, tak lantas menjadikan anda seorang manusia yang memiliki jiwa sportifitas dan pemaaf yang tinggi, setidaknya itu tergambar dari insiden Ferdinand-Terry-Cole. FA harusnya berani mengambil tindakan atas tingkah 3 pemain yang sebenarnya sama-sama berasal dari Inggris tersebut. Berjabat tangan sebelum laga memang menjadi hak dari masing-masing individu untuk mau melakukan nya atau tidak. Tapi, jika ritual itu tidak di lakukan di karenakan masih adanya dendam atau persoalan pribadi, maka sportifitas sepakbola Inggris dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Sepakbola Inggris di era 80 dan 90an terkenal akan gentlemanly football atau “sepakbola sopan”. Maka ketika di tahun 1988 seorang Paolo Di Canio dengan berani mendorong wasit Paul Alcock hingga terjengkang ketika dirinya di beri kartu merah, seantero Inggris mengecam tindakan nya.  Di tengah sentimen antipemain asing yang muncul di Inggris pada saat itu, tindakan Di Canio seakan menjadi pembenaran bahwa sebaiknya Inggris berkonsentrasi kepada pemain dalam negeri. Pemain asing bukan hanya mematikan kesempatan pemain muda dalam negeri dan menyedot devisa, tetapi lebih parah lagi, mereka menularkan perilaku tidak pantas yang bisa meracuni pemain sepak bola Inggris. Atas tindakan Di Canio itu, Football Association atau Persatuan Sepak Bola Inggris tidak tanggung-tanggung menjatuhkan hukuman. Pemain asal Italia itu dilarang tampil 11 kali, sebuah hukuman larangan bermain yang belum pernah di terima pemain Inggris manapun sepanjang sejarah. Hukuman itu nyaris menamatkan masa depan Di Canio di Liga Inggris. Sheffield Wednesday yang membeli Di Canio dari Glasgow Celtics (Skotlandia) dengan harga 3 juta poundsterling, tidak merasa rugi untuk kemudian menjualnya ke West Ham dengan harga 1,75 juta poundsterling hanya empat bulan setelah insiden itu.

Semua citra dan persepsi buruk masyarakat sepakbola Inggris terhadap Paolo Di Canio berubah 180 derajat pada 16 Desember 2000. Tindakan luar biasa nya malam itu di Goodison Park seolah membuka mata semua orang bagaimana sportifitas itu seharusnya di lakukan. Kala itu West Ham menghadapi Everton di lanjutan kompetisi liga. Hingga 90 menit pertandingan, kedudukan masih sama kuat 1-1. Di masa waktu tambahan (injury time), West Ham mendapat kesempatan melakukan serangan terakhir. Dari sayap kanan, penyerang West Ham Trevor sinclair lepas dari pengawalan pemain belakang Everton. Kiper Everton Paul Gerrard mencoba keluar untuk memotong gerakan Sinclair. Sliding tackle yang dilakukan Gerrard di luar kotak penalti bukan hanya gagal, tetapi membuat dirinya berteriak kesakitan karena posisi jatuh yang tidak benar. Dalam posisi Gerrard yang terkapar di luar kotak penalti, Sinclair mengirim umpan lambung ke arah Paolo Di Canio yang berdiri bebas di mulut gawang Everton. Dua bek Everton ada di mulut gawang, namun jaraknya sekitar tujuh meter dari Di Canio. Pemain West Ham itu dengan mudah sebenarnya bisa mengontrol umpan Sinclair dengan dada dan dengan kualitasnya diyakini Di Canio akan bisa membobol gawang Everton. Namun, di luar dugaan Di Canio tidak melakukan itu. Ia justru menangkap bola umpan Sinclair dengan tangan dan kemudian berjalan ke arah wasit Wilkes untuk meminta wasit menghentikan pertandingan karena kiper Everton cedera. Tindakan Paolo Di Canio di malam yang dingin itu di Goodison Park menjadi bahan pembicaraan tak hanya di Inggris tapi juga di seluruh dunia. Nyaris semua yang memperbincangkan kejadian itu memuji Paolo Di Canio yang mendahulukan sportifitas dan mengorbankan kemenangan yang bisa di raih ia dan tim nya malam itu. Ketika Sir Alex Ferguson hingga Fabio Capello dan banyak pelatih serta pengamat yang berdebat soal apa yang harus di lakukan ketika ada pemain yang terkapar cedera saat pertandingan masih berjalan, Di Canio memilih langsung berinisiatif menghentikan permainan meskipun hal itu secara otomatis akan  menghilangkan keuntungan bagi tim nya. Masyarakat sepakbola Inggris seolah di tampar dengan telak oleh Di Canio yang justru menunjukkan seperti apa sportifitas dalam bentuk nyata dan tak sekedar slogan. Orang yang dulu di cap bengal justru malah mampu membuka mata bahwa di atas segala kepentingan yang terkait dengan sepakbola masih ada hati nurani yang menunjukan rasa empati kepada orang lain sekalipun itu lawan. Walter Smith pelatih Everton saat itu secara khusus memuji tindakan Di Canio dan hal seperti itu harus di tiru oleh semua pesepakbola professional.


“ Saya tak mengharapkan pujian apapun atas tindakan yang saya lakukan itu. Bagi saya, kejadian itu tidak beda seperti ketika saya tidak mau di sebut psychopath karena mendorong jatuh wasit Paul Alcock.” tegas Di Canio kala itu. Menurut Di Canio, ia memilih menghentikan pertandingan karena ia melihat kiper Everton cedera dan menurutnya itu adalah cedera yang serius. Di Canio mengatakan bahwa apa yang di lakukan nya adalah spontan dan tak lagi memikirkan tentang kesempatan yang sebenarnya bisa di manfaatkan tim nya. “ Semuanya terjadi begitu saja, tanpa ada pemikiran panjang. Bagi seorang pemain professional, cedera yang serius itu jauh lebih buruk daripada harus kehilangan 3 angka.” Ucap Di Canio.

Dari dua kejadian di atas kita dapat menarik kesimpulan jika batas antara sportifitas dan tidak sportifitas sangatlah tipis. Sama tipisnya seperti perdebatan soal bola yang sudah melewati garis gawang atau belum. Jika bantuan teknologi di usulkan sebagai solusi dalam hal bola yang sudah melewati garis gawang atau belum, maka dalam kasus sportifitas atau tidak sportifitas di butuhkan sebuah hati nurani yang besar sebagai seorang pemenang. Di butuhkan rasa empati dan peduli kepada sesama pelaku sepakbola agar slogan “Fair Play Is My Game” tak sekedar tercetak di atas kain besar yang di bawa masuk ke lapangan sebelum pertandingan di gelar. Sepakbola memang sudah menjadi industri, tapi hal itu tak lantas harus menghilangkan sportifitas dari hati nurani para pelaku sepakbola di seluruh dunia.