Jumat, 14 Desember 2012

Gabriele sempre con noi






11 November 2007 terjadi bentrokan antara Ultras Lazio dengan sekelompok Ultras Juventus di sebuah wilayah di kota Roma. Gesekan dua kelompok Ultras yang terkenal sebagai rival itu terjadi di sebuah jalan bebas hambatan dekat SPBU di Badia al Pino Arezzo. Polisi kota Roma berusaha membubarkan keributan tersebut. Seorang pria muda bernama Gabriele Sandri yang saat itu sedang berada di dalam mobil nya rupanya berada di waktu dan tempat yang salah. Seorang polisi kota Roma yang bernama Luigi Spaccarotella melepaskan tembakan dari pistol Beretta 92 caliber 9 mm miliknya dan peluru tersebut mengenai dan menembus leher Sandri. Satu peluru itu cukup untuk mengakhiri hidup seorang Gabriele Sandri. Seorang Ultras meninggal karena ulah arogan polisi.

Kematian naas Sandri tersebut menimbulkan kerusuhan yang merebak di seantero Italia. Kelompok Ultras dari semua klub di Italia mengecam tindakan brutalisme aparat yang bersembunyi di balik alibi “mengamankan”. Para Ultras dari beberapa klub tidak lagi mengidentifikasikan diri mereka dengan klub yang mereka dukung, tapi sebagai sebuah keluarga besar Ultras yang merasa terzalimi. Ultras Lazio dan Ultras As Roma yang biasanya berseberangan kala itu bersatu untuk kemudian melakukan aksi turun ke jalan dan berdemo di depan dua titik strategis yaitu di depan kantor Komite Olimpiade Nasional Italia ( CONI ) dan di depan kantor polisi terdekat. Aksi turun ke jalan yang berujung pada kerusuhan itu membuat kondisi ibukota Italia itu mencekam. Berbekal pentungan dan memakai topeng, ratusan Ultras membakar tong sampah, bus dan beberapa kendaraan termasuk kendaraan aparat milik kota Roma. Buntut dari aksi tersebut, 4 Ultras di tahan, 70 polisi terluka dan kerugian saat itu di taksir mencapai 75.000 Lira.

Gabriele Sandri  di makamkan pada Rabu 14 November 2007 dengan di awali misa di gereja paroki tempat dia menerima Sakramen Pemandian. Gereja tersebut terletak di Piazza Baldunia yang letaknya tak jauh dari kediaman dan toko milik keluarga nya yang di kelola oleh Sandri. Ribuan Ultras dari penjuru Italia menghadiri prosesi tersebut. Di hari rabu itu di kenang sebagai hari dimana Ultras bersatu. Berikut ini adalah catatan milik seorang Ultras AS Roma yang saat itu menghadiri upacara pemakaman Gabriele Sandri.

“ Saya memutuskan untuk menghadiri nya. Sebagian untuk menunjukan rasa hormat saya kepada nya, sebagian lagi karena kejadian ini membuat saya marah. Saya tiba di dekat gereja tersebut sekitar pukul 11.40 dan saat itu gerimis. Saya dan puluhan rekan lain berjalan melewati taman yang sudah penuh sesak oleh ribuan orang lain nya. Beberapa orang membentuk pagar betis di tangga menuju gereja, menahan kerumunan massa yang memenuhi empat penjuru taman di sekeliling gereja tersebut. sebagian massa saat itu adalah pemuda, tetapi jumlah perempuan dan lanjut usia pun cukup banyak. Media kala itu memperkirakan paling tidak ada 5000 orang di sana saat itu. Kelompok Ultras dari seluruh Italia terwakili. Saya melihat kelompok dari Juventus, Inter, Milan, Taranto, Avellino, Genoa, Cremonese dan Livorno serta banyak kelompok lain yang tidak saya kenali syal nya dari klub mana. Saya menyeruak kerumunan orang hingga mencapai pagar dimana terdapat tumpukan tinggi bunga dan syal dari berbagai klub di latarbelakangi sebuah tulisan “ KEADILAN BAGI SANDRI “. Di antara syal Lazio, saya melihat syal AS Roma, Inter, Juve, AC Milan, Udinese, Palermo dan banyak lain nya. Karangan bunga yang terpajang pun tak hanya berasal dari teman-teman Sandri dan pendukung Lazio, tetapi juga bahkan ada yang berasal dari Antonello Venditti yang merupakan pimpinan Ultras AS Roma dan dari petinggi Ultras lain nya.  Bahkan saya pun melihat karangan bunga berwarna ungu-hitam dari Fossa dei Leoni yang sebenarnya telah bubar sejak 2005 lalu.
Sementara di dalam gereja sudah penuh sesak oleh keluarga, kerabat dan wakil pemerintahan Italia. Ada Walter Veltroni dan Luciano Spaletti. Yang mengharukan, saya pun melihat “er pupone” Fransesco Totti yang menangis ketika dia memeluk ibunda Sandri. Seluruh skuad tim Lazio dan tim-tim usia mudanya lengkap hadir di sana, termasuk pelatih  Delio Rossi. Kami yang berada di luar tentu saja tidak dapat melihat dengan jelas atau mendengar upacara di dalam gereja. Semuanya hening. Hanya sesekali terdengar tepuk tangan ketika tim Lazio dan keluarga mereka tiba. Saya berdiri di dekat tokoh Irriducibili. Satu di antara nya memiliki tattoo di leher kanan bertuliskan ACAB. Saya berpindah tempat, sementara hujan semakin deras. Tepukan tangan berhenti ketika pemain Lazio yang terakhir masuk gereja. Kami berdiri dalam keheningan. Di depan saya ada seorang perempuan berumur sekitar 50an, seorang diri, memakai syal Lazio sambil meremas saputangan nya.
Orang-orang di belakang saya berbincang perlahan dengan bahasa Italia yang bukan beraksen  Roma. Pimpinan Banda Noatri tiba dan berdiskusi dengan pimpinan Irriducibili. Ketua mereka di penuhi tattoo bergambar salib, simbol-simbol fasisme dan simbol Lazio. Pukul 13.00 misa berakhir dan terdengar gemuruh tepuk tangan ketika peti jenazah Sandri di usung keluar. Ultras dari berbagai klub tanpa komando secara serentak dan kompak meneriakkan “ Gabriele uno di noi “ atau “ Gabriele, kamu bagian dari kami” . Sebagian massa lain mulai menyanyikan sebuah lagu. Awalnya terdengar kurang jelas, tapi kemudian mulai terdengar jelas dan itu adalah lagu “ Vola Lazio Vola .” sebelum hari itu saya hanya mendengar lagu tersebut ketika derby Roma dan saya mendengar nya dari Curva Sud yang kemudian akan dibalas oleh teriakan dari kami para Giallorossi.
Fans Lazio di seberang taman mulai bernyanyi dengan suara keras dan perempuan tua yang tadi berada di depan saya ikut bernyanyi dengan suara bergetar. Saputangan nya kini benar-benar lusuh. Hujan bertambah deras. Perempuan di depan saya itu tak lagi mampu menahan emosi nya dan mulai menangis dengan terisak di tengah gemuruh nyanyian “ Lazio sul prato verde vola, Lazio tu non sarai mai sola, Vola un’aquila nel cielo, piu in alto sempre volera.” Untung nya saya saat itu pun membawa tissue karena tanpa sadar saya pun mulai menangis…
Usai bernyanyi, terdengar kembali yel-yel “Gabriele sempre con noi.” Di awali beberapa orang, akhirnya kami mulai serempak menyanyikan lagu kebangsaan Italia. Para pimpinan Irriducibili dan Banda Noatri tegap memberikan hormat ala Romawi dengan tangan kanan terangkat ketika peti jenazah Sandri melewati mereka. Tanpa yel, tanpa slogan, hanya sebuah penghormatan.
Massa mulai mencair dan meninggalkan tempat di bawah lebatnya hujan. Para pemain Lazio menaiki bus tepat di depan saya dengan hening. Mereka mulai menghapus uap air dari jendela bis dan memandangi kami yang di luar dengan pandangan kosong. Bahkan, saya bisa melihat dengan jelas Mudingayi menempelkan wajah sedih nya ke jendela bus. Seiring beranjak nya bis pemain itu pergi, massa pun meninggalkan tempat dengan keheningan yang sama ketika mereka datang. Pulang ke rumah masing-masing. Sekitar 1000 orang Ultras Lazio menuju Olimpico, lalu berkumpul di bawah Curva Nord dan menyanyikan lagu-lagu Lazio.
Mentalitas Ultras memang beragam. Sebagian baik, sebagian buruk. Tetapi hari ini saya belajar tentang suatu hal. Hari ini mereka berdatangan dari berbagai kota : Milan, Turin, Naples, Palermo dan lainnya dengan biaya mereka sendiri, berdiri dua jam di bawah hujan, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada seseorang yang tidak mereka kenal, mereka bertepuk tangan untuk keluarga dan kerabat yang berduka, menyanyikan sebuah nama yang bahkan tidak di kenalnya seminggu yang lalu. Dan mereka semua pun membubarkan diri dalam damai. Anda mungkin menganggap perbuatan mereka ini tidak masuk akal, tetapi ini adalah fakta. Lalu, masihkah anda menganggap bahwa semua Ultras itu identik dengan kekerasan…???”

Pengadilan kota Roma memutuskan bahwa Luigi Spaccarotella bersalah dan menjatuhi hukuman 6 tahun penjara. Ketika Spaccarotella mengajukan banding, pengadilan justru menambah hukumannya menjadi 9 tahun 4 bulan karena menemukan bukti baru dengan adanya unsur kesengajaan. Gabtiele Sandri telah tiada dalam usianya yang tergolong muda. Tetapi Sandri adalah monumen untuk semua Ultras di Italia. Curva Nord di Olimpico kini berganti nama menjadi Curva Nord Gabriele Sandri dan jika anda berkesempatan untuk datang langsung ke sana, akan akan mendapati sebuah bangku yang sengaja selalu di kosongkan dan terdapat foto Sandri sebagai bentuk penghormatan kepada nya. Karena Sandri akan selalu berada di hati semua Ultras di Italia bahkan dunia. Sebuah yayasan bernama Fondazione Gabriele Sandri di dirikan dan tetap beraktifitas hingga kini.

“ Ciao Gabriele Sandri…  Gabriele sempre con noi…”

Jumat, 07 Desember 2012

Sepakbola Indonesia Berduka








Sejak November hingga Desember ini, Indonesia mulai memasuki masa di mana curah hujan begitu tinggi. Entah suatu kebetulan atau tidak, di penghujung tahun ini sepakbola Indonesia pun memasuki masa hujan air mata menyusul rentetan hasil buruk maupun kejadian yang memilukan.

Periode duka di sepakbola Indonesia di mulai ketika dari layar kaca kita menyaksikan bagaimana Timnas kita meraih hasil imbang 2-2 di AFF Cup 2012 yang di helat di Malaysia saat mengahadapi langganan lumbung gol di masa lalu yaitu Laos. Awan duka sepertinya akan menjauh ketika di  partai kedua Timnas mampu memutus kutukan dengan mengalahkan Singapura 1-0.  Persetan, mereka yang mencibir bahwa kita menang karena keberuntungan, toh malam itu papan skor di Bukit Jalil tidak sedang rusak dan skor 1-0 hingga 90 menit benar-benar nyata dan kita dapat poin 3 dari Singapura. Tiba lah partai ketiga yang mempertemukan dua musuh besar serumpun yaitu Malaysia. Timnas Garuda butuh hasil imbang untuk kemudian siap menggelar semifinal yang memakai sistem home away di Jakarta. Tapi malam itu di Bukit Jalil, Timnas Garuda yang kita harapkan tercabik-cabik oleh tajam nya cakaran Harimau Malaya. Kita di tekuk dua gol tanpa balas. Kita gagal ke semifinal yang berarti mengubur dalam-dalam impian juara. Timnas Indonesia lagi-lagi berhasil mengecewakan ratusan juta pendukung nya.

Belum berlalu dari kesedihan atas kegagalan di Malaysia, publik sepakbola di tanah air kembali di kejutkan dengan berita meninggal nya Diego Mendieta. Buat saya pribadi ini bukan lah sekedar kematian pesepakbola yang bisa di anggap sebagai hal wajar atau biasa. Kasus Mendieta adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang harus di cermati secara kritis. Mendieta yang berusia 32 tahun asal Paraguay terakhir kali tercatat sebagai pemain dari tim Persis Solo. Dia meninggal karena sakit komplikasi dan tak mampu membayar biaya pengobatan. Gajinya yang belum terbayar sekitar 100 juta lebih sudah tertunggak selama berbulan bulan. Setelah sempat keluar masuk rumah sakit, Diego Antonio Mendieta Romero di Assuncion  akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada selasa dinihari di RS Moewardi Solo-Jawa Tengah.

Jika di cermati, permintaan Mendieta di akhir hayat nya adalah apa yang seharusnya memang menjadi hak nya sebagai seorang pemain sepakbola. Ia menuntut pembayaran gajinya dari sebuah klub yang memang memakai jasa nya sebagai seorang pemain.  Ia butuh gajinya itu agar ia bisa pulang ke Paraguay untuk bertemu anak, istri serta ibunya. Kalaupun ia memang di takdirkan meninggal di usinya yang ke 32 tahun, ia ingin meninggal di tanah kelahiran nya, bukan di Indonesia. Tapi nasib berkata lain. Mendieta menghembuskan nafas terakhirnya dengan memendam rindu. Meninggalkan seorang istri dan tiga anaknya di Paraguay. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana rasa sakit hati dari ketiga anaknya ketika mereka dewasa nanti jika mengetahui bahwa mereka kehilangan seorang ayah yang sakit dan tak mendapat hak nya di sebuah negara yang katanya ramah namun tidak becus dalam mengurus sepakbola. Saya, anda atau ratusan juta rakyat Indonesia mungkin tak semuanya mengenal dan pernah bertemu Mendieta. Tapi, hati siapa yang tak pilu ketika mendengar seorang warga negara asing yang bekerja di sini wafat karena tak mampu membayar biaya pengobatan lantaran gajinya belum di bayar.

Sesulit itukah melindungi nyawa para pesepakbola di Indonesia??? Padahal, asuransi jiwa mulai dari yang 3 jutaan per tahun bertebaran dimana mana. Dana yang tersimpan itu pun tidak hilang, malah akan berkembang seiring berjalan nya waktu. Tidakkah agen pemain, para manajemen klub, atau orang orang di federasi sana pernah memikirkan hal tersebut??? Sementara itu, dua kubu yang merasa paling sah dan saat ini masih terus bertikai mulai bersiap untuk lepas tangan.PSSI dan KPSI saling tunjuk hidung dan lempar tanggung jawab. Jika memang seperti ini ada nya mental para orang-orang yang mengurusi sepakbola di republik ini, saya sarankan untuk mulai saat ini berhentilah bermimpi  Timnas kebanggaan kita bisa menjadi juara…!!!

Ketika pihak-pihak yang berlabel para pengurus sepakbola di atas sana sama sekali tak bisa di andalkan, jangan lupakan satu elemen lain dari sepakbola yang justru berisikan orang-orang loyal dan fanatik bernama, suporter. Mereka yang menamai diri nya suporter justru adalah sekumpulan orang tulus dan rela melakukan apa saja demi sebuah klub yang di cintai. Dalam kasus Mendieta, saya sangat memuji tinggi atas apa yang sudah di lakukan para Pasoepati dengan menggalang dana di acara nonbar AFF Cup dengan tujuan meringankan beban biaya atas pengobatan Mendieta. Dengan segala keterbatasan, mereka masih mampu menunjukan rasa empati yang luar biasa terhadap Mendieta. Mereka yang menyumbang tak berharap apapun kecuali melihat Mendieta sembuh dan bermain lagi untuk tim kebanggaan yang justru berisi orang-orang manajemen klub dengan tingkah memalukan. Saya malah sama sekali tidak menaruh rasa hormat untuk orang orang PSSI maupun KPSI yang sama sekali tak peduli dan malah sedang bersiap untuk bertarung di kongres mendatang.

Untuk satu kongres yang tergelar, pengeluaran bisa mencapai ratusan juta bahkan milyaran. Jika sebagian kecil saja dari pengeluaran itu di alokasikan kepada Mendieta, mungkin saat anda membaca tulisan ini nasib Mendieta bisa seberuntung Fabrice Muamba, pemain Bolton yang berhasil selamat dari maut karena penanganan yang cepat dan professional. Jika sudah seperti ini, masih adakah nadir yang lebih rendah di sepakbola kita pada hari-hari belakangan ini?  Atau malah beberapa pekan ke depan  PSSI dan KPSI masih mau menyajikan sesuatu yang menjijikan melalui kongres yang hanya membuang buang uang?

Orang Indonesia sudah terbiasa berucap “ semoga ini untuk yang terakhir kalinya”. Pada akhirnya, sesampainya di rumah kita sendiri lupa dan kejadian serupa harus terulang kembali.  Saat akhirnya tulisan ini anda baca, saya sedang berharap semoga Federasi Pesepak Bola Profesional Dunia ( FIFPro ) benar-benar secara serius membawa masalah Mendieta ini ke FIFA dan memasukkan nya ke dalam agenda Rapat Komite Eksekutif yang akan di gelar di Tokyo pada 14 Desember 2012 mendatang. Semoga FIFA mengambil tindakan tegas atas kasus manusia yang bernama Mendieta yang justru tidak di perlakukan layaknya manusia. Kalau memang harus di hukum, hukumlah seberat beratnya! Agar kepergian Mendieta tidak menjadi sesuatu yang sia-sia.