Jumat, 14 Desember 2012

Gabriele sempre con noi






11 November 2007 terjadi bentrokan antara Ultras Lazio dengan sekelompok Ultras Juventus di sebuah wilayah di kota Roma. Gesekan dua kelompok Ultras yang terkenal sebagai rival itu terjadi di sebuah jalan bebas hambatan dekat SPBU di Badia al Pino Arezzo. Polisi kota Roma berusaha membubarkan keributan tersebut. Seorang pria muda bernama Gabriele Sandri yang saat itu sedang berada di dalam mobil nya rupanya berada di waktu dan tempat yang salah. Seorang polisi kota Roma yang bernama Luigi Spaccarotella melepaskan tembakan dari pistol Beretta 92 caliber 9 mm miliknya dan peluru tersebut mengenai dan menembus leher Sandri. Satu peluru itu cukup untuk mengakhiri hidup seorang Gabriele Sandri. Seorang Ultras meninggal karena ulah arogan polisi.

Kematian naas Sandri tersebut menimbulkan kerusuhan yang merebak di seantero Italia. Kelompok Ultras dari semua klub di Italia mengecam tindakan brutalisme aparat yang bersembunyi di balik alibi “mengamankan”. Para Ultras dari beberapa klub tidak lagi mengidentifikasikan diri mereka dengan klub yang mereka dukung, tapi sebagai sebuah keluarga besar Ultras yang merasa terzalimi. Ultras Lazio dan Ultras As Roma yang biasanya berseberangan kala itu bersatu untuk kemudian melakukan aksi turun ke jalan dan berdemo di depan dua titik strategis yaitu di depan kantor Komite Olimpiade Nasional Italia ( CONI ) dan di depan kantor polisi terdekat. Aksi turun ke jalan yang berujung pada kerusuhan itu membuat kondisi ibukota Italia itu mencekam. Berbekal pentungan dan memakai topeng, ratusan Ultras membakar tong sampah, bus dan beberapa kendaraan termasuk kendaraan aparat milik kota Roma. Buntut dari aksi tersebut, 4 Ultras di tahan, 70 polisi terluka dan kerugian saat itu di taksir mencapai 75.000 Lira.

Gabriele Sandri  di makamkan pada Rabu 14 November 2007 dengan di awali misa di gereja paroki tempat dia menerima Sakramen Pemandian. Gereja tersebut terletak di Piazza Baldunia yang letaknya tak jauh dari kediaman dan toko milik keluarga nya yang di kelola oleh Sandri. Ribuan Ultras dari penjuru Italia menghadiri prosesi tersebut. Di hari rabu itu di kenang sebagai hari dimana Ultras bersatu. Berikut ini adalah catatan milik seorang Ultras AS Roma yang saat itu menghadiri upacara pemakaman Gabriele Sandri.

“ Saya memutuskan untuk menghadiri nya. Sebagian untuk menunjukan rasa hormat saya kepada nya, sebagian lagi karena kejadian ini membuat saya marah. Saya tiba di dekat gereja tersebut sekitar pukul 11.40 dan saat itu gerimis. Saya dan puluhan rekan lain berjalan melewati taman yang sudah penuh sesak oleh ribuan orang lain nya. Beberapa orang membentuk pagar betis di tangga menuju gereja, menahan kerumunan massa yang memenuhi empat penjuru taman di sekeliling gereja tersebut. sebagian massa saat itu adalah pemuda, tetapi jumlah perempuan dan lanjut usia pun cukup banyak. Media kala itu memperkirakan paling tidak ada 5000 orang di sana saat itu. Kelompok Ultras dari seluruh Italia terwakili. Saya melihat kelompok dari Juventus, Inter, Milan, Taranto, Avellino, Genoa, Cremonese dan Livorno serta banyak kelompok lain yang tidak saya kenali syal nya dari klub mana. Saya menyeruak kerumunan orang hingga mencapai pagar dimana terdapat tumpukan tinggi bunga dan syal dari berbagai klub di latarbelakangi sebuah tulisan “ KEADILAN BAGI SANDRI “. Di antara syal Lazio, saya melihat syal AS Roma, Inter, Juve, AC Milan, Udinese, Palermo dan banyak lain nya. Karangan bunga yang terpajang pun tak hanya berasal dari teman-teman Sandri dan pendukung Lazio, tetapi juga bahkan ada yang berasal dari Antonello Venditti yang merupakan pimpinan Ultras AS Roma dan dari petinggi Ultras lain nya.  Bahkan saya pun melihat karangan bunga berwarna ungu-hitam dari Fossa dei Leoni yang sebenarnya telah bubar sejak 2005 lalu.
Sementara di dalam gereja sudah penuh sesak oleh keluarga, kerabat dan wakil pemerintahan Italia. Ada Walter Veltroni dan Luciano Spaletti. Yang mengharukan, saya pun melihat “er pupone” Fransesco Totti yang menangis ketika dia memeluk ibunda Sandri. Seluruh skuad tim Lazio dan tim-tim usia mudanya lengkap hadir di sana, termasuk pelatih  Delio Rossi. Kami yang berada di luar tentu saja tidak dapat melihat dengan jelas atau mendengar upacara di dalam gereja. Semuanya hening. Hanya sesekali terdengar tepuk tangan ketika tim Lazio dan keluarga mereka tiba. Saya berdiri di dekat tokoh Irriducibili. Satu di antara nya memiliki tattoo di leher kanan bertuliskan ACAB. Saya berpindah tempat, sementara hujan semakin deras. Tepukan tangan berhenti ketika pemain Lazio yang terakhir masuk gereja. Kami berdiri dalam keheningan. Di depan saya ada seorang perempuan berumur sekitar 50an, seorang diri, memakai syal Lazio sambil meremas saputangan nya.
Orang-orang di belakang saya berbincang perlahan dengan bahasa Italia yang bukan beraksen  Roma. Pimpinan Banda Noatri tiba dan berdiskusi dengan pimpinan Irriducibili. Ketua mereka di penuhi tattoo bergambar salib, simbol-simbol fasisme dan simbol Lazio. Pukul 13.00 misa berakhir dan terdengar gemuruh tepuk tangan ketika peti jenazah Sandri di usung keluar. Ultras dari berbagai klub tanpa komando secara serentak dan kompak meneriakkan “ Gabriele uno di noi “ atau “ Gabriele, kamu bagian dari kami” . Sebagian massa lain mulai menyanyikan sebuah lagu. Awalnya terdengar kurang jelas, tapi kemudian mulai terdengar jelas dan itu adalah lagu “ Vola Lazio Vola .” sebelum hari itu saya hanya mendengar lagu tersebut ketika derby Roma dan saya mendengar nya dari Curva Sud yang kemudian akan dibalas oleh teriakan dari kami para Giallorossi.
Fans Lazio di seberang taman mulai bernyanyi dengan suara keras dan perempuan tua yang tadi berada di depan saya ikut bernyanyi dengan suara bergetar. Saputangan nya kini benar-benar lusuh. Hujan bertambah deras. Perempuan di depan saya itu tak lagi mampu menahan emosi nya dan mulai menangis dengan terisak di tengah gemuruh nyanyian “ Lazio sul prato verde vola, Lazio tu non sarai mai sola, Vola un’aquila nel cielo, piu in alto sempre volera.” Untung nya saya saat itu pun membawa tissue karena tanpa sadar saya pun mulai menangis…
Usai bernyanyi, terdengar kembali yel-yel “Gabriele sempre con noi.” Di awali beberapa orang, akhirnya kami mulai serempak menyanyikan lagu kebangsaan Italia. Para pimpinan Irriducibili dan Banda Noatri tegap memberikan hormat ala Romawi dengan tangan kanan terangkat ketika peti jenazah Sandri melewati mereka. Tanpa yel, tanpa slogan, hanya sebuah penghormatan.
Massa mulai mencair dan meninggalkan tempat di bawah lebatnya hujan. Para pemain Lazio menaiki bus tepat di depan saya dengan hening. Mereka mulai menghapus uap air dari jendela bis dan memandangi kami yang di luar dengan pandangan kosong. Bahkan, saya bisa melihat dengan jelas Mudingayi menempelkan wajah sedih nya ke jendela bus. Seiring beranjak nya bis pemain itu pergi, massa pun meninggalkan tempat dengan keheningan yang sama ketika mereka datang. Pulang ke rumah masing-masing. Sekitar 1000 orang Ultras Lazio menuju Olimpico, lalu berkumpul di bawah Curva Nord dan menyanyikan lagu-lagu Lazio.
Mentalitas Ultras memang beragam. Sebagian baik, sebagian buruk. Tetapi hari ini saya belajar tentang suatu hal. Hari ini mereka berdatangan dari berbagai kota : Milan, Turin, Naples, Palermo dan lainnya dengan biaya mereka sendiri, berdiri dua jam di bawah hujan, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada seseorang yang tidak mereka kenal, mereka bertepuk tangan untuk keluarga dan kerabat yang berduka, menyanyikan sebuah nama yang bahkan tidak di kenalnya seminggu yang lalu. Dan mereka semua pun membubarkan diri dalam damai. Anda mungkin menganggap perbuatan mereka ini tidak masuk akal, tetapi ini adalah fakta. Lalu, masihkah anda menganggap bahwa semua Ultras itu identik dengan kekerasan…???”

Pengadilan kota Roma memutuskan bahwa Luigi Spaccarotella bersalah dan menjatuhi hukuman 6 tahun penjara. Ketika Spaccarotella mengajukan banding, pengadilan justru menambah hukumannya menjadi 9 tahun 4 bulan karena menemukan bukti baru dengan adanya unsur kesengajaan. Gabtiele Sandri telah tiada dalam usianya yang tergolong muda. Tetapi Sandri adalah monumen untuk semua Ultras di Italia. Curva Nord di Olimpico kini berganti nama menjadi Curva Nord Gabriele Sandri dan jika anda berkesempatan untuk datang langsung ke sana, akan akan mendapati sebuah bangku yang sengaja selalu di kosongkan dan terdapat foto Sandri sebagai bentuk penghormatan kepada nya. Karena Sandri akan selalu berada di hati semua Ultras di Italia bahkan dunia. Sebuah yayasan bernama Fondazione Gabriele Sandri di dirikan dan tetap beraktifitas hingga kini.

“ Ciao Gabriele Sandri…  Gabriele sempre con noi…”

Jumat, 07 Desember 2012

Sepakbola Indonesia Berduka








Sejak November hingga Desember ini, Indonesia mulai memasuki masa di mana curah hujan begitu tinggi. Entah suatu kebetulan atau tidak, di penghujung tahun ini sepakbola Indonesia pun memasuki masa hujan air mata menyusul rentetan hasil buruk maupun kejadian yang memilukan.

Periode duka di sepakbola Indonesia di mulai ketika dari layar kaca kita menyaksikan bagaimana Timnas kita meraih hasil imbang 2-2 di AFF Cup 2012 yang di helat di Malaysia saat mengahadapi langganan lumbung gol di masa lalu yaitu Laos. Awan duka sepertinya akan menjauh ketika di  partai kedua Timnas mampu memutus kutukan dengan mengalahkan Singapura 1-0.  Persetan, mereka yang mencibir bahwa kita menang karena keberuntungan, toh malam itu papan skor di Bukit Jalil tidak sedang rusak dan skor 1-0 hingga 90 menit benar-benar nyata dan kita dapat poin 3 dari Singapura. Tiba lah partai ketiga yang mempertemukan dua musuh besar serumpun yaitu Malaysia. Timnas Garuda butuh hasil imbang untuk kemudian siap menggelar semifinal yang memakai sistem home away di Jakarta. Tapi malam itu di Bukit Jalil, Timnas Garuda yang kita harapkan tercabik-cabik oleh tajam nya cakaran Harimau Malaya. Kita di tekuk dua gol tanpa balas. Kita gagal ke semifinal yang berarti mengubur dalam-dalam impian juara. Timnas Indonesia lagi-lagi berhasil mengecewakan ratusan juta pendukung nya.

Belum berlalu dari kesedihan atas kegagalan di Malaysia, publik sepakbola di tanah air kembali di kejutkan dengan berita meninggal nya Diego Mendieta. Buat saya pribadi ini bukan lah sekedar kematian pesepakbola yang bisa di anggap sebagai hal wajar atau biasa. Kasus Mendieta adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang harus di cermati secara kritis. Mendieta yang berusia 32 tahun asal Paraguay terakhir kali tercatat sebagai pemain dari tim Persis Solo. Dia meninggal karena sakit komplikasi dan tak mampu membayar biaya pengobatan. Gajinya yang belum terbayar sekitar 100 juta lebih sudah tertunggak selama berbulan bulan. Setelah sempat keluar masuk rumah sakit, Diego Antonio Mendieta Romero di Assuncion  akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada selasa dinihari di RS Moewardi Solo-Jawa Tengah.

Jika di cermati, permintaan Mendieta di akhir hayat nya adalah apa yang seharusnya memang menjadi hak nya sebagai seorang pemain sepakbola. Ia menuntut pembayaran gajinya dari sebuah klub yang memang memakai jasa nya sebagai seorang pemain.  Ia butuh gajinya itu agar ia bisa pulang ke Paraguay untuk bertemu anak, istri serta ibunya. Kalaupun ia memang di takdirkan meninggal di usinya yang ke 32 tahun, ia ingin meninggal di tanah kelahiran nya, bukan di Indonesia. Tapi nasib berkata lain. Mendieta menghembuskan nafas terakhirnya dengan memendam rindu. Meninggalkan seorang istri dan tiga anaknya di Paraguay. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana rasa sakit hati dari ketiga anaknya ketika mereka dewasa nanti jika mengetahui bahwa mereka kehilangan seorang ayah yang sakit dan tak mendapat hak nya di sebuah negara yang katanya ramah namun tidak becus dalam mengurus sepakbola. Saya, anda atau ratusan juta rakyat Indonesia mungkin tak semuanya mengenal dan pernah bertemu Mendieta. Tapi, hati siapa yang tak pilu ketika mendengar seorang warga negara asing yang bekerja di sini wafat karena tak mampu membayar biaya pengobatan lantaran gajinya belum di bayar.

Sesulit itukah melindungi nyawa para pesepakbola di Indonesia??? Padahal, asuransi jiwa mulai dari yang 3 jutaan per tahun bertebaran dimana mana. Dana yang tersimpan itu pun tidak hilang, malah akan berkembang seiring berjalan nya waktu. Tidakkah agen pemain, para manajemen klub, atau orang orang di federasi sana pernah memikirkan hal tersebut??? Sementara itu, dua kubu yang merasa paling sah dan saat ini masih terus bertikai mulai bersiap untuk lepas tangan.PSSI dan KPSI saling tunjuk hidung dan lempar tanggung jawab. Jika memang seperti ini ada nya mental para orang-orang yang mengurusi sepakbola di republik ini, saya sarankan untuk mulai saat ini berhentilah bermimpi  Timnas kebanggaan kita bisa menjadi juara…!!!

Ketika pihak-pihak yang berlabel para pengurus sepakbola di atas sana sama sekali tak bisa di andalkan, jangan lupakan satu elemen lain dari sepakbola yang justru berisikan orang-orang loyal dan fanatik bernama, suporter. Mereka yang menamai diri nya suporter justru adalah sekumpulan orang tulus dan rela melakukan apa saja demi sebuah klub yang di cintai. Dalam kasus Mendieta, saya sangat memuji tinggi atas apa yang sudah di lakukan para Pasoepati dengan menggalang dana di acara nonbar AFF Cup dengan tujuan meringankan beban biaya atas pengobatan Mendieta. Dengan segala keterbatasan, mereka masih mampu menunjukan rasa empati yang luar biasa terhadap Mendieta. Mereka yang menyumbang tak berharap apapun kecuali melihat Mendieta sembuh dan bermain lagi untuk tim kebanggaan yang justru berisi orang-orang manajemen klub dengan tingkah memalukan. Saya malah sama sekali tidak menaruh rasa hormat untuk orang orang PSSI maupun KPSI yang sama sekali tak peduli dan malah sedang bersiap untuk bertarung di kongres mendatang.

Untuk satu kongres yang tergelar, pengeluaran bisa mencapai ratusan juta bahkan milyaran. Jika sebagian kecil saja dari pengeluaran itu di alokasikan kepada Mendieta, mungkin saat anda membaca tulisan ini nasib Mendieta bisa seberuntung Fabrice Muamba, pemain Bolton yang berhasil selamat dari maut karena penanganan yang cepat dan professional. Jika sudah seperti ini, masih adakah nadir yang lebih rendah di sepakbola kita pada hari-hari belakangan ini?  Atau malah beberapa pekan ke depan  PSSI dan KPSI masih mau menyajikan sesuatu yang menjijikan melalui kongres yang hanya membuang buang uang?

Orang Indonesia sudah terbiasa berucap “ semoga ini untuk yang terakhir kalinya”. Pada akhirnya, sesampainya di rumah kita sendiri lupa dan kejadian serupa harus terulang kembali.  Saat akhirnya tulisan ini anda baca, saya sedang berharap semoga Federasi Pesepak Bola Profesional Dunia ( FIFPro ) benar-benar secara serius membawa masalah Mendieta ini ke FIFA dan memasukkan nya ke dalam agenda Rapat Komite Eksekutif yang akan di gelar di Tokyo pada 14 Desember 2012 mendatang. Semoga FIFA mengambil tindakan tegas atas kasus manusia yang bernama Mendieta yang justru tidak di perlakukan layaknya manusia. Kalau memang harus di hukum, hukumlah seberat beratnya! Agar kepergian Mendieta tidak menjadi sesuatu yang sia-sia.

Jumat, 21 September 2012

Jangan Hanya Slogan







Sabtu 15 September 2012. QPR vs Chelsea di Loftus Road. Partai yang menarik untuk di saksikan karena akan menjadi partai debut untuk Julio Cesar yang di datangkan dari Inter Milan. Partai ini juga akan menjadi partai penuh emosional untuk Anton Ferdinand, John Terry dan Ashley Cole. Tiga nama pemain asli Inggris itu memiliki masalah yang tercipta di musim lalu dan masalah yang melibatkan mereka bertiga adalah masalah yang begitu sensitif yaitu, rasisme. Saya pribadi dan penggemar sepakbola lain nya tentu sangat menantikan momen sebelum laga dimana para pemain dari kedua tim di “haruskan” saling berjabat tangan. Dan benar saja, Ferdinand dengan sengaja melewatkan John Terry yang mengulurkan tangan nya untuk bersalaman. Ferdinand pun melakukan hal yang sama ketika tiba giliran nya ia berhadapan dengan Ashley Cole. Tak ada jabat tangan antara Ferdinand-Terry atau Ferdinand-Cole. Saya terhenyak. Lalu mulai mempertanyakan mengapa pemain kelas professional seperti mereka bertingkah seperti anak kecil. Ferdinand mungkin dendam dan masih menyimpan akar pahit atas apa yang pernah Terry ucapkan padanya. Tapi, sadarkah Ferdinand jika ia masuk ke lapangan setelah bendera “FIFA Fair Play” masuk terlebih dahulu yang menandakan bahwa semua pemain yang terlibat dalam pertandingan harus menjunjung spotifitas? Tak sadarkah ia jika saat itu ia menggandeng anak kecil dan seharusnya memberi contoh sportifitas yang baik bagi generasi muda itu? Rasa keheranan saya makin menjadi ketika menyaksikan apa yang terjadi antara Ferdinand dan Cole. Ferdinand dengan sengaja melewatkan Cole dan menolak berjabat tangan dengan nya. Dan di detik yang sama ketika Ferdinand melewatkan dirinya begitu saja, Cole langsung meludah kearah belakang barisan pemain Chelsea. Dan dengan jelas terlihat bahwa aksi Cole tersebut adalah suatu aksi pertanda kekesalan nya terhadap Ferdinand. Dua aksi yang tergolong pengecut itu terekam kamera televisi dan tentunya di saksikan jutaan pasang mata penikmat sepakbola. Bermain di level sepakbola tinggi seperti EPL, tak lantas menjadikan anda seorang manusia yang memiliki jiwa sportifitas dan pemaaf yang tinggi, setidaknya itu tergambar dari insiden Ferdinand-Terry-Cole. FA harusnya berani mengambil tindakan atas tingkah 3 pemain yang sebenarnya sama-sama berasal dari Inggris tersebut. Berjabat tangan sebelum laga memang menjadi hak dari masing-masing individu untuk mau melakukan nya atau tidak. Tapi, jika ritual itu tidak di lakukan di karenakan masih adanya dendam atau persoalan pribadi, maka sportifitas sepakbola Inggris dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Sepakbola Inggris di era 80 dan 90an terkenal akan gentlemanly football atau “sepakbola sopan”. Maka ketika di tahun 1988 seorang Paolo Di Canio dengan berani mendorong wasit Paul Alcock hingga terjengkang ketika dirinya di beri kartu merah, seantero Inggris mengecam tindakan nya.  Di tengah sentimen antipemain asing yang muncul di Inggris pada saat itu, tindakan Di Canio seakan menjadi pembenaran bahwa sebaiknya Inggris berkonsentrasi kepada pemain dalam negeri. Pemain asing bukan hanya mematikan kesempatan pemain muda dalam negeri dan menyedot devisa, tetapi lebih parah lagi, mereka menularkan perilaku tidak pantas yang bisa meracuni pemain sepak bola Inggris. Atas tindakan Di Canio itu, Football Association atau Persatuan Sepak Bola Inggris tidak tanggung-tanggung menjatuhkan hukuman. Pemain asal Italia itu dilarang tampil 11 kali, sebuah hukuman larangan bermain yang belum pernah di terima pemain Inggris manapun sepanjang sejarah. Hukuman itu nyaris menamatkan masa depan Di Canio di Liga Inggris. Sheffield Wednesday yang membeli Di Canio dari Glasgow Celtics (Skotlandia) dengan harga 3 juta poundsterling, tidak merasa rugi untuk kemudian menjualnya ke West Ham dengan harga 1,75 juta poundsterling hanya empat bulan setelah insiden itu.

Semua citra dan persepsi buruk masyarakat sepakbola Inggris terhadap Paolo Di Canio berubah 180 derajat pada 16 Desember 2000. Tindakan luar biasa nya malam itu di Goodison Park seolah membuka mata semua orang bagaimana sportifitas itu seharusnya di lakukan. Kala itu West Ham menghadapi Everton di lanjutan kompetisi liga. Hingga 90 menit pertandingan, kedudukan masih sama kuat 1-1. Di masa waktu tambahan (injury time), West Ham mendapat kesempatan melakukan serangan terakhir. Dari sayap kanan, penyerang West Ham Trevor sinclair lepas dari pengawalan pemain belakang Everton. Kiper Everton Paul Gerrard mencoba keluar untuk memotong gerakan Sinclair. Sliding tackle yang dilakukan Gerrard di luar kotak penalti bukan hanya gagal, tetapi membuat dirinya berteriak kesakitan karena posisi jatuh yang tidak benar. Dalam posisi Gerrard yang terkapar di luar kotak penalti, Sinclair mengirim umpan lambung ke arah Paolo Di Canio yang berdiri bebas di mulut gawang Everton. Dua bek Everton ada di mulut gawang, namun jaraknya sekitar tujuh meter dari Di Canio. Pemain West Ham itu dengan mudah sebenarnya bisa mengontrol umpan Sinclair dengan dada dan dengan kualitasnya diyakini Di Canio akan bisa membobol gawang Everton. Namun, di luar dugaan Di Canio tidak melakukan itu. Ia justru menangkap bola umpan Sinclair dengan tangan dan kemudian berjalan ke arah wasit Wilkes untuk meminta wasit menghentikan pertandingan karena kiper Everton cedera. Tindakan Paolo Di Canio di malam yang dingin itu di Goodison Park menjadi bahan pembicaraan tak hanya di Inggris tapi juga di seluruh dunia. Nyaris semua yang memperbincangkan kejadian itu memuji Paolo Di Canio yang mendahulukan sportifitas dan mengorbankan kemenangan yang bisa di raih ia dan tim nya malam itu. Ketika Sir Alex Ferguson hingga Fabio Capello dan banyak pelatih serta pengamat yang berdebat soal apa yang harus di lakukan ketika ada pemain yang terkapar cedera saat pertandingan masih berjalan, Di Canio memilih langsung berinisiatif menghentikan permainan meskipun hal itu secara otomatis akan  menghilangkan keuntungan bagi tim nya. Masyarakat sepakbola Inggris seolah di tampar dengan telak oleh Di Canio yang justru menunjukkan seperti apa sportifitas dalam bentuk nyata dan tak sekedar slogan. Orang yang dulu di cap bengal justru malah mampu membuka mata bahwa di atas segala kepentingan yang terkait dengan sepakbola masih ada hati nurani yang menunjukan rasa empati kepada orang lain sekalipun itu lawan. Walter Smith pelatih Everton saat itu secara khusus memuji tindakan Di Canio dan hal seperti itu harus di tiru oleh semua pesepakbola professional.


“ Saya tak mengharapkan pujian apapun atas tindakan yang saya lakukan itu. Bagi saya, kejadian itu tidak beda seperti ketika saya tidak mau di sebut psychopath karena mendorong jatuh wasit Paul Alcock.” tegas Di Canio kala itu. Menurut Di Canio, ia memilih menghentikan pertandingan karena ia melihat kiper Everton cedera dan menurutnya itu adalah cedera yang serius. Di Canio mengatakan bahwa apa yang di lakukan nya adalah spontan dan tak lagi memikirkan tentang kesempatan yang sebenarnya bisa di manfaatkan tim nya. “ Semuanya terjadi begitu saja, tanpa ada pemikiran panjang. Bagi seorang pemain professional, cedera yang serius itu jauh lebih buruk daripada harus kehilangan 3 angka.” Ucap Di Canio.

Dari dua kejadian di atas kita dapat menarik kesimpulan jika batas antara sportifitas dan tidak sportifitas sangatlah tipis. Sama tipisnya seperti perdebatan soal bola yang sudah melewati garis gawang atau belum. Jika bantuan teknologi di usulkan sebagai solusi dalam hal bola yang sudah melewati garis gawang atau belum, maka dalam kasus sportifitas atau tidak sportifitas di butuhkan sebuah hati nurani yang besar sebagai seorang pemenang. Di butuhkan rasa empati dan peduli kepada sesama pelaku sepakbola agar slogan “Fair Play Is My Game” tak sekedar tercetak di atas kain besar yang di bawa masuk ke lapangan sebelum pertandingan di gelar. Sepakbola memang sudah menjadi industri, tapi hal itu tak lantas harus menghilangkan sportifitas dari hati nurani para pelaku sepakbola di seluruh dunia.



Minggu, 22 Juli 2012

“Gràcies Pep”







Tahun 2008 adalah tahun dimana perkembangan sepakbola dunia seolah naik ke tingkat yang lebih tinggi. Adalah Jose “Pep” Guardiola  sebagai sosok yang paling bertanggung jawab dari makin menariknya permainan si kulit bundar ini lebih menarik untuk di saksikan. Datang ke Barcelona untuk menggantikan Frank Rijkaard yang sudah menanamkan fondasi sepakbola menyerang, Guardiola memoles tim asuhan nya agar lebih berkomitmen dalam memainkan sepakbola dengan pola passing yang cepat nan akurat. Pep seolah membuat paradigma baru bahwa sepakbola modern adalah sepakbola yang membuat bola terus bergerak dengan maksud mengintimidasi tim lawan dengan penguasaan bola. Pep pun di yakini mendapatkan inspirasi dari futsal.


Adalah Marc Carmona yang mengemukakan pendapat tersebut di situs fbbarcelona.blogspot.com. Anda mungkin bertanya siapa itu Marc Carmona sehingga berani mengeluarkan pendapat itu. Marc Carmona adalah pelatih futsal tim Barcelona Alusport yang rupanya memang rutin di ajak berdiskusi oleh Senor Pep. Salah satu kunci kesuksesan di dalam futsal adalah kontinuitas memainkan bola dimana posisi pemain berada dalam jarak yang berdekatan dan membentuk segitiga. Jika hal tersebut berjalan sukses, itu akan berdampak tim menjadi superior, baik saat menyerang atau pun bertahan karena mereka lebih menguasai permainan.


Hal ini terlihat jelas dalam sistem permainan Barcelona. Para pemain Blaugrana seringkali membentuk formasi segitiga yang siap memainkan bola. Bahkan dalam berbagai kesempatan formasi segitiga tersebut malah berbarengan tercipta di lini belakangan, tengah dan depan. Bisa di bilang Barca membagi lapangan menjadi beberapa “mini-game futsal” secara simultan. Formasi segitiga antar pemain ini tercipta secara berdekatan sehingga membuat para pemain Barca lebih mudah mengalihkan bola dari kaki ke kaki dan pola tersebut jelas sulit untuk di matikan lawan. Possession yang sabar dan lama dari Barca tanpa kehilangan bola sampai menemukan celah dan waktu yang tepat untuk menghukum lawan dengan gol ini sangat mirip dengan futsal. Bukan hanya itu, sejumlah permainan Barcelona yang lain juga mempunyai konsep yang serupa dengan futsal. Dari mulai cara melewati lawan dengan gerakan badan yang menipu seperti yang biasa di lakukan Messi, Xavi, Iniesta hingga Busquets, menghentikan bola dengan telapak sepatu seperti yang biasa di pertontonkan Dani Alves dan Pique, sampai meminimalisasi sliding tackle agar posisional pemain tak terganggu.



Tapi Carmona pun berpendapat bahwa apa yang di lakukan Guardiola dan Barcelona dalam beberapa tahun terakhir ini adalah lebih dari sekedar mengopi permainan futsal ke lapangan yang lebih besar dan jumlah pemain yang lebih banyak. Hal ini soal style. “ Barcelona saat ini mungkin adalah satu-satunya tim di dunia yang begitu fasih dan mahir dalam mendasarkan permainan mereka dengan manajemen ruang. Bola seperti terbang. Untuk melakukan hal itu di butuhkan teknik yang benar-benar tinggi dan penempatan pemain yang sempurna.” Ujar Carmona. Manajemen ruang ini juga tergambar jelas dari perubahan cepat yang bisa di lakukan Barca. Saat menguasai bola, mereka membuat lapangan permainan menjadi begitu lebar. Ketika sedang dalam posisi bertahan, Blaugrana bermain rapat dan menyempitkan ruang permainan.


Permainan merek Guardiola ini juga mengaplikasikan sebuah garis lini belakang yang tinggi dan pertahanan yang segera melakukan pressing ketika akhirnya kehilangan bola. Eks bek Manchester United, Gary Neville pun memberikan pujian, “ Barcelona mendefinisikan ulang sepakbola dengan ide baru, cara baru melakukan sesuatu. Level dimana Barcelona segera menutup lawan di garis pertahanan yang tinggi dan belum pernah saya lihat sebelumnya. Mereka memenangi kembali bola dengan kecepatan seperti peluru.” Ujar Neville di kolomnya di The Daily Mail. Neville jelas tak asal bicara, di era dimana ia masih bermain aktif, Neville mungkin belum pernah melawan tim dengan pola seperti Barcelona saat ini. “Sistem Barca yang bermain tanpa penyerang tengah murni membuat Lionel Messi dapat bergerak bebas untuk menemukan lubang terlemah pertahanan tim mana pun.” Tambah Neville lagi.


Ketika akhirnya Pep Guardiola memutuskan mundur dari Barcelona, saya lantas mempertanyakan akan seperti apa Barca bermain nanti di bawah komando Tito Villanova. Apakah tetap dengan cara Pep atau berubah dengan cara Villanova. Dengan cara dan pola apapun Barca nantinya bermain, saya hanya berharap bahwa sepakbola dunia tetap berada di level tinggi dengan memanjakan mata para penikmatnya dengan suguhan permainan yang memukau dan nikmat untuk di saksikan. Tulisan ini pun akan di akhiri dengan sebuah kalimat singkat yang ingin saya dan jutaan penggemar sepakbola katakan kepada Pep Guardiola, “Gràcies Pep”

Minggu, 15 Juli 2012

Drama Transfer Neymar




Ada satu nama yang begitu menjadi topik hangat perbincangan di kalangan penggemar sepakbola Brasil 2 atau 3 tahun belakangan ini. Sosok pesebakbola yang lahir pada 5 Februari 1992 itu bernama lengkap Neymar da Silva Santos Junior atau kita mengenalnya dengan nama Neymar. Striker muda berbakat yang tengah menjadi bintang dalam drama transfer yang melibatkan klub nya Santos FC dengan dua klub raksasa Spanyol, FC Barcelona dan Real Madrid.

Ya, ketiga klub tersebut seolah berada dalam pusaran intrik guna memastikan masa depan Neymar di masa mendatang. Mano Menezes, pelatih timnas Brasil dalam sebuah wawancara nya dengan media Globoesporte beberapa bulan lalu memberi saran kepada bintang muda Brasil tersebut. Dia menganjurkan jika Neymar berambisi menjadi bintang besar di persebakbolaan dunia maka Neymar harus segera bermain di level Eropa. Menurut Menezes, itulah cara paling pas bagi Neymar untuk berkembang dan meningkatkan kemampuan nya. Menezes pun mengapresiasi tindakan Neymar untuk tidak buru-buru meninggalkan Santos untuk bermain di klub Eropa.

Di pihak lain, Muricy Ramalho selaku pelatih Santos tak sependapat dengan Menezes.  Menurut Ramalho, Neymar pun dapat mengembangkan karier professional nya tanpa perlu keluar dari Brasil. Beberapa bulan lalu, Santos sukses menahan Neymar lebih lama dengan penandatanganan kontrak baru yang berdurasi hingga Piala Dunia 2014. Di dalam kontrak itu pun tertera sebuah klausul yang menyebutkan Neymar bisa dan siap di lepas Santos ke klub lain dengan nilai transfer minimal 79 juta dolar AS atau sekitar 726 miliar rupiah. Imbal baliknya, Santos setuju untuk membayar gaji Neymar dengan total 1,5 juta dolar AS atau kira-kira 13,7 miliar rupiah setiap bulan nya. Sebagai catatan, gaji Neymar tersebut adalah gaji pesepakbola tertinggi seantero Brasil.

Beruntung nya, Santos berhasil menggandeng Bank of Brazil guna membiayai transaksi kontrak baru Neymar tersebut. Bank of Brazil yang merupakan bank terbesar di Brasil juga terlibat dalam sebuah kesepakatan komersial Neymar selama di Brasil dan perjanjian ini telah di konfirmasi oleh mantan manajer Neymar, Wagner Ribeiro. Santos FC dan Kementrian Olahraga Brasil berpendapat bahwa Neymar bisa memiliki stabilitas popularitas, uang serta ekonomi jika dia tetap bertahan di Brasil. Klub-klub Liga Premier seperti Chelsea dan Manchester City semula juga ingin merekrutnya, tapi pelan-pelan mereka mulai kehilangan minat karena mahalnya banderol harga untuk seorang pemain yang sama sekali belum berpengalaman di kancah Eropa itu.

Lantas Real Madrid dan Barcelona setuju untuk membayar Santos demi menghindari hukuman FIFA untuk kontrak di bawah tangan dengan pemain dan agen nya. Toh, Neymar akhirnya memutuskan tetap bersama Santos, tapi dia berubah pikiran lagi ketika Santos kalah dari El Barca dalam final FIFA World Cup 2011 di Jepang beberapa bulan lalu.

Kisah Neymar dan Real Madrid di mulai ketika tahun 2005 tatkala Wagner Ribeiro datang ke Spanyol untuk menemui presiden Los Blancos Florentino Perez. Saat itu, Ribeiro merupakan agen dari Neymar serta Robinho dan ia ingin Madrid mengontrak kedua pemain nya itu. Perez setuju mengontrak Robinho, tapi tak dapat merekrut Neymar karena melibatkan birokrasi. Waktu berlalu dan Neymar pun mulai memperlihatkan permainan menjanjikan sehingga Real Madrid pun berminat.  Perez lalu menghubungi Ribeiro untuk membahas soal perekrutan Neymar. Ribeiro kala itu justru meminta bantuan Perez karena saat itu Ribeiro sedang terlilit masalah keuangan. Perez pun bersedia meminjamkan sejumlah uang kepada Ribeiro. Presiden Real Madrid itu lantas menyatakan bahwa hutang Ribeiro itu akan di hapus jika ia membantu memuluskan niat Los Blancos untuk memboyong Neymar. Bahkan, Perez juga menawarkan untuk membayar klausul pelepasan Neymar dari Santos sehingga Neymar bisa mendarat di Bernabeu. So, saat itu Ribeiro menjadi manajer pemain yang cenderung berpihak kepada Real Madrid. Dan mereka pun secara resmi mengajukan penawaran ke Santos.

Sayang, proposal Perez dan Ribeiro di tolak pihak Santos dengan alasasn ingin memakai jasa Neymar hingga 2013 guna merayakan hari ulang tahun Santos yang ke 100 tahun. Alasan lain adalah, Santos ingin Neymar memperkuat skuad di FIFA World Cup 2011. Perez yang tak biasa dengan penolakan pun merasa berang dan menginginkan sebuah pertemuan khusus dengan semua pihak yang berkepantingan di Brasil via telekonferensi. Dalam pertemuan itu, di hadiri perwakilan Santos, perwakilan Real Madrid serta Perez yang memantau dari Spanyol. Ayah Neymar, Neymar da Silva Senior juga hadir dalam telekonferensi itu untuk mewakili anak nya. Sang ayah saat itu mengungkapkan beberapa keraguan anaknya terhadap Real Madrid. Perez menanggapi pernyataan ayah Neymar tersebut dengan hinaan bahwa dia tak tahu diri berhadapan dengan Real Madrid.  Perez dengan marah menyatakan bahwa Los Merengues tidak dapat menjamin Neymar akan mendapat posisi inti di Santiago Bernabeu.

Pernyataan keras Perez terebut sekaligus menjadi tanda berakhirnya segala kemungkinan proses transfer Neymar ke Real Madrid. Ribeiro pun di pecat  sebagai manajer berkaitan dengan pengalaman buruk sang striker muda dengan Los Blancos. Usai deal antara Real Madrid dan Neymar berantakan, FC Barcelona pun turun gelanggang setelah melihat peluang Real Madrid pupus. Presiden Blaugrana, Sandro Rosell secara khusus terbang ke Brasil untuk berbicara dengan Neymar dan ayah nya. Rosell memuji tinggi skill dan permainan Neymar sekaligus mengangkat citra Barcelona sebagai klub yang tepat untuk kelanjutan masa depan nya.

Neymar memang terus bermain untuk Santos  tapi dia pun mulai memikirkan masa depan nya setelah selesai musim 2011-2012 ini. Tampaknya El Barca mendapat tempat di hati nya, bahkan secara implisit Neymar pernah melontarkan pujian khusus yang di alamatkan untuk Lionel Messi. Dalam wawancara nya dengan El Mundo Deportivo, Neymar mengaku telah menerima saran dari seniornya yaitu Ronaldinho agar memilih Barcelona sebagai klub yang tepat untuk karier diri nya. Sejauh ini, rumor hengkang nya Neymar baru akan terjadi pada 2013. Belum ada pembicaraan resmi antara Santos dengan Barca maupun klub lain nya. Santos sekarang tinggal menunggu klub mana yang bersedia mengucurkan dana besar sebagai konsekuensi klausul pembelian yang tertuang dalam kontrak Neymar.

Menarik di tunggu kemana Neymar akhirnya akan berlabuh. Saya pribadi pun sependapat dengan Mano Menezes yang menyarankan Neymar segera hijrah ke Eropa. Bagaimanapun juga Neymar harus berani keluar dari comfort zone nya di Liga Brasil untuk kemudian berkembang menjadi pesepakbola terbaik di dunia seperti impian nya.

Jumat, 13 Juli 2012

Sebatas Penonton





Ketika Piala Eropa yang bergulir mulai 8 Juni lalu akhirnya selesai dan memunculkan Spanyol sebagai juara, di saat yang sama di negara ini dua kompetisi dengan masing-masing klaim sebagai liga dengan kasta tertinggi tetap berjalan dan bahkan mulai memasuki fase-fase krusial jelang berakhirnya kompetisi. Tim-tim di Liga Super Indonesia dan Liga Primer Indonesia tetap memiliki kewajiban untuk bertanding meski di belahan Eropa sana sedang ada gelaran akbar yang juga sayang untuk di lewatkan. Tepatkah kedua kompetisi tersebut tetap berjalan…???

Tanpa berpikir keras untuk mencari jawaban nya, jawaban saya atas pertanyaan itu adalah : tepat dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Kita adalah Indonesia dan sebagai negara yang merdeka, kita berhak mengatur jadwal sepakbola sesuai dengan kondisi di negara ini.  Piala Eropa adalah pestanya mereka yang di sana. Namun, bukan berarti penggemar si kulit bundar di belahan benua lain tidak boleh menikmati nya. Bagaimanapun juga Piala Eropa edisi tahun ini mesti kita ikuti karena merupakan sebuah tontonan bermutu dan kita bisa belajar banyak dari apa yang kita saksikan lewat layar kaca. Hanya saja, alangkah baiknya jika kita tidak menjadi berlebihan seolah olah Indonesia menjadi salah satu peserta dari putan final Piala Eropa tersebut.

Sudah menjadi tradisi dan bukan lagi rahasia umum jika event Piala Eropa lalu membuat banyak penggila bola di negara ini rela begadang sampai pagi demi meyaksikan pertandingan dan mendukung negara dari salah satu peserta. Nyaris di berbagai tempat di adakan acara nonton bareng yang memunculkan animo tinggi dari masyarakat seolah olah mereka lahir dan besar di negara peserta yang mereka dukung. Anda memang punya hak sepenuhnya untuk melakukan hal itu, tapi jangan pernah sekalipun anda melupakan klub lokal tempat anda di lahirkan, di besarkan atau yang memiliki ikatan dengan asal usul anda.

Tiap kali mulai memperbincangkan soal sepakbola negeri sendiri, akan ada banyak orang yang langsung berkata, “sepakbola Indonesia? Males banget… capek deh…pengurusnya ribut terus, pemain nya sering berantem, suporter nya hobby ngerusuh dan seterusnya…”. Apapun itu, memang seperti itulah kondisi sepakbola di negeri ini. Dan jangan lupakan sebuah teori yang berbunyi “ sepakbola adalah refleksi dari sebuah bangsa.” Namun, masa kita jadi tega untuk melupakan dari mana kita berasal dan dimana kita berpijak?

Sejak awal tahun 1990-an Liga Serie A Italia mulai menyapa mata para penggila sepakbola di negeri ini melalui tayangan pertandingan tiap pekan nya bahkan hingga saat ini. Setiap pekan nya, stasiun-stasiun televisi di Indonesia selalu menayangkan secara langsung pertandingan-pertandingan di liga-liga utama Eropa. Hal itu pun berlaku juga setiap dua tahun, ketika ada turnamen besar yaitu Piala Dunia dan Piala Eropa. Saat di mulai nya era siaran langsung tersebut, muncul juga kata-kata bahwa, “ kita bisa belajar banyak dari pertandingan-pertandingan kelas dunia di layar kaca.” Namun, setelah lima gelaran Piala Dunia dan lima gelaran Piala Eropa dan ratusan bahkan mungkin ribuan pertandingan-pertandingan liga-liga Eropa di tayangkan secara langsung, sepakbola Indonesia masih begini-begini saja, jalan di tempat. Jika anda berpikir jalan mundur, saya pun sangat memahami pendapat tersebut.

Selama belasan tahun tampaknya kita tenggelam dengan keasyikan menonton siaran-siaran langsung tersebut. Jika kita lihat dari kacamata bisnis, sudah puluhan triliun rupiah yang masuk ke kantong orang-orang di barat sana untuk membayar hak siar pertandingan semusim yang tentu tidaklah murah. Bayangkan, dengan jumlah uang sebanyak itu sudah berapa lapangan sepakbola berkualitas yang bisa di bangun di setiap kelurahan atau desa di Indonesia atau di setiap sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat atas di negeri ini. Bayangkan pula sudah berapa akademi sepakbola bermutu yang bisa di bentuk di setiap kota di Indonesia dengan menggunakan dana tersebut?

Namun, selalu lebih mudah untuk berbicara dan menulis daripada melaksanakan nya. Dan lagi-lagi kita tentu tidak ingin melewatkan begitu saja kesempatan menyaksikan tayangan-tayangan langsung sepakbola dari Eropa atau Amerika Selatan.  Kita masih sebatas penonton, sepakbola di negeri ini pun belum bisa di katakan layak untuk masyarakat sepakbola dunia tonton.  Entah sampai kapan…