Jumat, 16 Mei 2014

Fanatisme Itu Gak Rasional








Jika anda seorang penggemar sepakbola khususnya sepakbola Indonesia ,anda pasti tahu ada sebuah klub yang berbasis di ibukota yang bernama Persija Jakarta. Klub yang selalu di labeli tim besar karena memang hampir di semua negara di dunia, klub sepakbola yang berbasis di ibukota pasti mendapat perhatian yang lebih dari klub-klub lain nya. Spanyol dengan Real Madrid nya, Argentina dengan Boca Juniors nya, Italia dengan AS Roma nya dan di Indonesia ada Persija Jakarta. Dan jika kita membicarakan tentang Persija, suka atau tidak kita pasti akan serta merta juga membahas satu kata, Jakmania. Ya, suatu organisasi yang seluruh anggotanya adalah supporter fanatik dari Persija. Suatu organisasi yang identik dengan warna oranye yang juga sama dengan warna kostum Persija ini bisa di bilang adalah salah satu organisasi dengan jumlah massa yang terbilang besar di Indonesia. Organisasi suporter yang terkenal dengan kalimat “ Persija ampe mati “ ini bisa di temui hampir di semua penjuru kota Jakarta dan sekitarnya.


Jakmania di dirikan pada tanggal 19 Desember 1997 ketika kala itu kompetisi sepakbola di Indonesia masih bernama Ligina. Di dirikan dan bermarkas di Stadion Menteng yang kini hanya menjadi kenangan. Sejak awal kemunculan nya dengan lambang jempol dan telunjuk di blantika sepakbola Indonesia, Jakmania telah berkembang pesat secara jumlah anggota meski di awal berdirinya memang terlihat agak sulit bagi Jakmania menjaring para anggota yang cinta Persija. Kini di usia nya yang memasuki umur 15 tahun, Jakmania benar-benar telah menjadi organisasi suporter dengan basis anggota terbilang banyak dan hampir tersebar di seluruh Pulau Jawa bahkan Sumatera. Anggota resmi Jakmania tercatat mencapai 15.000 lebih itupun belum termasuk para simpatisan yang sebenarnya juga loyal dan total dalam mendukung Persija. Tak perlu melakukan survey ke lapangan untuk mengetahui seberapa banyak jumlah Jakmania, anda cukup berkeliling di sekitar kawasan Senayan saat Persija berlaga di Jakarta, maka anda bisa temui dan merasakan atmosfir dari rasa cinta Jakmania untuk Persija. Persija dengan Jakmania nya adalah dua elemen yang tak bisa di pisahkan. Di mana ada Persija, saya bisa pastikan bahwa anda akan mendapati Jakmania ada dan mendukung Persija. 


Tapi keberadaan Jakmania di tengah-tengah masyarakat Jakarta yang heterogen menjadi seperti dua sisi mata uang yang berlawanan. Jakmania bagi sebagian orang di cap sebagai kelompok suporter yang brutal,liar dan suka mengganggu ketertiban umum. Stigma sebagian masyarakat terhadap Jakmania begitu buruk. Tak jarang muncul penolakan atau cemoohan yang di tujukan kepada Jakmania. Ada sebagian orang yang bahkan menjuluki Jakmania tak ubahnya kelompok Pom-Pom Boys atau cheerleader yang beranggotakan pria melihat seringnya anggota Jakmania naik di atap kendaraan lalu bernyanyi dan menari meski itu sebenarnya adalah bentuk lain dari dukungan untuk Persija. Jakmania di anggap sebagai biang kemacetan karena memenuhi jalan-jalan raya di Jakarta ketika akan berangkat ke stadion maupun ketika pulang dari stadion. Dan seperti kelompok suporter fanatik lain nya di dunia, Jakmania juga seringkali terlibat perkelahian entah itu dengan kelompok suporter lain atau bahkan dengan aparat kepolisian. Berkelahi apapun alasan nya memang tidak dapat di benarkan, tapi jika di cermati lagi, anggota Jakmania yang terlibat perkelahian pun manusia biasa yang tentu memiliki sifat emosi yang bisa tersulut bila merasa di terganggu dan di lecehkan. Beberapa orang yang mengaku Jakmania pernah tertangkap tangan membawa senjata tajam,minuman keras dan bahkan narkoba ketika akan menyaksikan Persija berlaga. Hal itu tak bisa di pungkiri ada dan benar adanya tapi bukan berarti semua anggota Jakmania seperti itu. Mereka yang seperti itu adalah bagian kecil dari banyaknya anggota  Jakmania lainnya yang memang gila sepakbola dan cinta Persija dan tak akan melakukan hal-hal negatif yang dapat mencoreng nama Jakmania serta Persija.

Di sisi lain,keberadaan Jakmania justru menjadi warna tersendiri di kota Jakarta. Keberadaan Jakmania dengan fanatisme luar biasanya mampu menggairahkan persepakbolaan di Indonesia. Banyak orang yang tadinya acuh terhadap sepakbola Indonesia malah menjadi tertarik dan menggilai nya karena melihat bagaimana rasa cinta yang di tunjukkan para Jakmania kepada Persija. Setiap kali Persija berlaga di Jakarta, kota ini menjadi lebih berwarna karena kehadiran Jakmania yang datang langsung ke stadion dengan berbagai macam atribut. Para pedagang asongan di sekitar Senayan pun ikut merasakan dampak positif dari kehadiran Jakmania di setiap pertandingan Persija. Fanatisme para Jakmania terhadap Persija terbilang luar biasa karena Jakmania pun turut serta hadir pada pertandingan Persija di luar Jakarta bahkan di luar Pulau Jawa. Hal itu menjadi sangat spesial mengingat Indonesia adalah negara kepulauan  yang otomatis membutuhkan tenaga,waktu dan biaya bagi para Jakmania jika harus bepergian ke luar Jakarta demi mendukung Persija. Semua hal itu terbungkus menjadi satu kata bernama loyalitas. Loyalitas tanpa batas.

Saya sendiri adalah seorang Jakmania. Tentu saya tidak termasuk dalam kategori Jakmania liar atau yang berkonotasi negatif. Saya melabeli diri saya Jakmania karena saya memang gila sepakbola dan cinta Persija. Saya selalu merasakan sesuatu yang berbeda ketika terbangun di hari di mana Persija akan berlaga di Jakarta. Semangat.  Datang langsung dan mendukung Persija sudah menjadi semacam ritual yang harus saya jalankan tak peduli apapun hari dan kondisinya. Mengenakan atribut Jakmania dan Persija jauh membuat saya lebih percaya diri ketimbang saya mengenakan pakaian lain nya. Masuk ke stadion, duduk dan bernyanyi bersama, merasakan kemenangan atau kekalahan bersama melahirkan sebuah kepuasan yang tak ternilai. Seorang teman pernah berujar, “ ngapain si panas-panas malah kadang hujan lagi capek-capek ke stadion klo di TV juga ada, ngeluarin duit pula…!!! “. Saya hanya tersenyum kecil setiap cibiran seperti itu di tujukkan kepada saya. Sebuah kalimat singkat namun penuh makna selalu saya ucapkan kepada mereka yang mencibir kecintaan saya terhadap Persija. Sebuah kalimat yang berbunyi, “ Fanatisme itu gak rasional.” Saya dan semua Jakmania lain nya di seluruh penjuru Nusantara pasti  tahu dan mengerti seperti apa fanatisme itu bergelora di dalam jiwa dan tertuju hanya untuk Persija Jakarta.

Salam Jempol Telunjuk. Forza Jakmania. Bravo Persija.

Rabu, 22 Mei 2013

JZ4 ( belum ) Pensiun...






Sebagai pembuka, saya ingin menegaskan satu hal, saya bukan Manchunian. Saya juga bukan satu dari sekian banyak member Red Army yang tersebar di seluruh dunia. Saya juga kebetulan sampai saat tulisan ini di ketik belum kesampaian untuk memiliki salah satu jersey kebanggaan milik Manchester United yang jika saya memang harus miliki, maka jersey itu harus bertuliskan Paul Scholes.

Tapi tanpa bermaksud lebay, saya termasuk dari sekian banyak orang yang bersedih ketika mendengar keputusan bahwa Sir Alex Ferguson akan berhenti melatih klub yang di pegang nya selama 26 tahun terakhir ini. Saya secara tidak sadar merinding sekaligus tercengang ketika melihat Fergie masuk ke lapangan sesaat setelah partai Mu vs Swansea berakhir. Fergie masuk ke tengah lapangan yang mungkin setiap inchi nya ia kenali dengan dekorasi guard of honour yang sungguh menggetarkan. Saat itu semua orang bertepuk tangan, tak sedikit yang menyeka air mata yang mungkin sudah bercampur dengan air muka. 26 tahun jelas bukan rentang waktu yang sebentar untuk seorang pria yang bahkan bukan berasal dari Inggris namun sangat sukses menjadikan sebuah klub asal Inggris menjadi begitu di takuti sekaligus di gemari. Dan saat itu, saya sepakat melabeli hari pensiun nya Sir Alex Ferguson adalah hari berkabung bagi sepakbbola dunia.

Melihat bagaimana rekasi para penggila setan merah Manchester United atas pensiun nya Sir Alex Ferguson, saya secara tidak langsung seolah di berikan gambaran bagaimana rasanya dan akan menjadi seperti apa suasana nya jika hari pensiun nya seorang Javier Adelmar Zanetti tiba. Ya, nama latin yang baru anda baca barusan adalah nama seorang pemain yang sudah memasuki usia 40 tahun dan masih bermain sekaligus menjabat kapten di timnya, Inter. Membayangkan hari pensiun JZ4 tiba saja saya sudah bergidik ngeri apalagi jika hari itu benar-benar sudah tiba.


Saya seorang pria namun saya bisa pastikan saya akan menitikan air mata bila nanti JZ4 selesai melakoni partai terakhir nya bersama Inter. Saya dan puluhan bahkan ratusan Interisti di lokasi nonbar nanti pasti akan berdiri rapuh sambil terus meneriakkan “Un capitano, ce’ solo un capitano.” Guncangan jiwa kehilangan sosok teladan macam Javier Zanetti mungkin akan jauh lebih dahsyat ketimbang guncangan orgasme seusai  bercinta di sertai foreplay yang menggelora. Ah, rasanya tak siap jika JZ4 pensiun, tapi waktu tidak pernah berdetak ke kiri dan menurun nya kualitas JZ4 di usia ke 40 jelas tak akan bisa di pungkiri.

Segala macam prestasi tim atau pribadi yang pernah di raih JZ4 tak akan saya bahas tuntas di sini. Saya pribadi memandang sosok JZ4 adalah pemain yang memang haus akan gelar, namun lebih daripada itu JZ4 adalah sosok pemain yang hanya ingin terus bermain, tak peduli ia akan di tempatkan di posisi apa. JZ4 mencintai sepakbola bukan karena apa yang akan ia raih, namun ia mencintai sepakbola dengan apa yang ia bisa berikan. Tak heran jika ia tidak meradang atau protes ketika Mourinho di medio 2008-2010 menggeser posisi nya lebih ke tengah saat Maicon menjadi andalan Mou untuk mengisi pos bek sayap kanan. Dengan kebiasaan Opa Moratti yang loyal dan saat itu sepenuhnya mendukung Mourinho demi ambisi menjuarai UCL, tentu tidak sulit bagi Inter dan Mourinho untuk mendatangkan gelandang nomor wahid untuk mengisi lini tengah Inter. Namun, opsi mendatangkan gelandang mumpuni  yang sempat ramai di beritakan media kala itu akhirnya hanya menjadi gosip sampah karena saat itu Mourinho punya JZ4 di tim nya yang sanggup mengisi pos tersebut dengan baik. Ketika posisi asli JZ4 di isi pemain lain yang saat itu sedang on fire, ia lebih memilih menjalani tugas baru nya sebaik mungkin sebagai gelandang ketimbang duduk manis seraya mengunyah permen karet di bangku cadangan.


27 April 2013 lalu kala Inter menjalani laga tandang melawan Palermo, JZ4 bertemu musuh bersama para pesepakbola professional. JZ4 cedera. Cedera yang harus memaksa nya menepi dan sementara menghentikan rekening jumlah bermain nya bersama Inter. Dokter memperkirakan dalam 8 bulan sejak hari naas itu, JZ4 tidak akan di perbolehkan melakukan satu halJ yang sangat ia cintai. Lalu muncul sebuah pertanyaan klasik, “ Inikah waktu nya bagi Javier Zanetti pensiun???”. Saya sendiri tidak punya jawaban pasti untuk pertanyaan tersebut. Jawaban saya bersayap, bahkan mungkin akan terdengar sok bijak meski saya tak sebotak Mario Teguh. Apapun yang akan terjadi pada karier Javier Zanetti setelah cedera itu, saya hanya akan bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan di berikan kesempatan menyaksikan karier hebat seorang Javier Zanetti.  Saya bersyukur di beri teladan nyata tentang kesetiaan seorang pemain terhadap klub yang ia cinta serta kesetiaan nya terhadap model rambut yang ia pilih. Jika anda masih meragukan kadar kesetiaan seorang Javier Zanetti, silahkan bertanya pada Nyonya Paula De La Fuente yang sudah memberi nya 3 jagoan hasil karya ranjang Zanetti, Sol, Ignacio dan Tomas.
J


Sebagai penutup, saya ingin mencantumkan kutipan kalimat yang luar biasa dari seorang Javier Zanetti
“ it was the first team to open the doors of European football. I was very young when I came here and I think not many teams could have had so much faith and patience with a boy in his early 20s from the very first day like Inter did with me. I will always be grateful for that. For some reason, I HAVE ALWAYS FELT AT HOME HERE AT INTER AND THIS IS WHY I HAVE NEVER THOUGHT OF LEAVING.”





Note : Penulis adalah seorang Interisti yang lahir tepat 16 tahun setelah lahirnya Javier Zanetti, suatu kebetulan yang membanggakan… Hahaha.

Jumat, 29 Maret 2013

Akan Selalu Kembali


Di sebuah buku berjudul Fever Pitch, Nick Hornby sang penulis menggambarkan bahwa ketika kita mencintai sepakbola, itu sama hal nya seperti kita mencintai seorang manusia lawan jenis kita tanpa pernah mempedulikan berbagai kemungkinan sakit hati yang menunggu kita di akhir cerita.


Ketika seseorang memutuskan untuk melabeli diri mereka dengan label penggila sepakbola, secara tidak langsung seseorang tersebut harus siap menerima segala resiko suka ataupun duka dari yang terjadi di dunia sepakbola. Seorang penggemar sepakbola akan mengalami suatu sisi emosional tingkat tinggi atas apa yang di cintai nya. Antusiasme, optimisme, euforia seperti berada di satu sisi yang saling membelakangi dengan skeptis, pesimisme dan kekecewaan yang mendalam. Dan gilanya, semua penggila sepakbola di seluruh dunia justru menikmati fase naik turunnya letupan emosional dalam dirinya atas apa yang telah di lakukan dengan baik oleh sepakbola.


Sepakbola punya plot cerita baku dalam menyenangkan sekaligus mematahkan hati kita sebagai penggila nya. Di awali skeptisme yang cenderung meremehkan, lalu harapan tiba-tiba muncul di iringi segala aspek pendukung yang makin membuat penggila nya yakin bahwa harapan itu selalu ada. Kita kadang terlalu cepat larut dalam euforia kemenangan padahal hari pertandingan masih berupa lusa. Kita terus memanjatkan doa lewat berbagai media hingga pertandingan yang kita tunggu di mulai, saat itu optimisme kita mulai membumbung tinggi entah kemana, dan saat sedang enak-enak nya terbuai dalam kemenangan sesaat, dengan sekali tiupan kecil sepakbola menjatuhkan kita dari ketinggian yang keterlaluan. Sepakbola melakukan sekali lagi tugas nya dengan baik. Memberikan harapan sekaligus menghempaskan nya.



Mari kita ambil contoh atas apa yang saya maksud di atas dengan apa yang baru saja terjadi pada 23 Maret 2013 di ibukota Indonesia. Indonesia vs Arab Saudi di Stadion Utama Gelora Bung Karno dalam lajutan kualifikasi Piala Asia 2015 yang akan berlangsung di Australia. Beberapa hari sebelum match tergelar, pemain yang di panggil untuk memperkuat Timnas kali ini adalah pemain yang di anggap paling berkualitas karena berasal dari kompetisi yang juga katanya terbaik yaitu ISL. Antusiasme muncul ke permukaan di barengi optimisme akan kemenangan yang selama ini di rindukan. Doa di panjatkan jutaan rakyat lewat berbagai media hingga ke ranah facebook, twitter dan social media lain nya. Internet berkecepatan tinggi memang bukan perkara besar di surga, tapi Tuhan sepertinya sulit menemukan waktu untuk membuka akun twitter nya untuk membaca semua doa yang di sertai hastag Forza Indonesia.



Pertandingan di mulai, optimisme masih memihak dan sepertinya euforia akan gol cepat Boas Salossa akan berlangsung hingga akhir pertandingan. Seisi GBK percaya bahwa tuan rumah yang berkostum merah akan memetik 3 angka pertama nya sekaligus menghidupkan peluang lolos ke turnamen yang belum pernah di menangi Indonesia. Lalu yang di takutkan terjadi, tiupan kecil yang menghempaskan itu berhembus perlahan di menit ke 14. sang tamu menyamakan kedudukan. Di momen itu, kita belum terhempas secara telak. Kita masih terbalut optimisme namun dalam posisi emosional yang merosot perlahan. Dan di menit ke 55 babak kedua, secara drastis semua seisi GBK pendukung Garuda ramai-ramai terjatuh dari ketinngian yang keterlaluan hingga kembali ke bumi dan tersadar dalam kenyataan. Indonesia tertingal. Seperti biasanya, namun kita lupa membiasakan nya.




Saat sang pengadil asal Korea, Kim Jong Hyoek meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir, itulah saat dimana semua harapan beserta komplotan ekspektasi tinggi kita sebagi penggila sepakbola yang mendukung Timnas Indonesia memasuki atmosfir bumi. Optimisme menjelang laga 90 menit yang baru saja berlalu terbakar hangus dan hancur berhamburan ke penjuru GBK. Anda kecewa, terpukul atau bahkan patah hati? Jika iya, berarti kita saudara senegara.



Sebagai pendukung Timnas Indonesia, saya dan anda tentu sudah paham betul bagaimana modus operandi menyakitkan hati ini. Kembali merasakan kekalahan ketika semua aspek sepertinya mendukung untuk menghadirkan kemenangan. Tapi di sini lah yang menakjubkan dari seorang penggila sepakbola. Kasih sayang semua penggila sepakbola tak terbatas, agape tanpa syarat atau embel-embel berwujud timbal balik. Kita mengantri tiket dan membeli, hadir lebih awal saat hari pertandingan, kehujanan, berdesak desakan hingga kesulitan mencari posisi duduk di dalam stadion. Itu semua tulus. Kami sebagai penggila, penggemar atau apapun lah namanya mengharapkan kemenangan, namun ketika sabtu lalu hal itu belum di rasakan, kami tak menuntut pertanggungjawaban atau pengembalian dalam bentuk apapun.



Sesaat sebelum meninggalkan tribun sektor 7 pada sabtu lalu, teman saya sempat berujar, “Gpp lah kalah, Indonesia tadi maen nya udh bagus kok. Gak kalah telak kita, gak terlalu malu-maluin lah.” Saya yang kebetulan mendengar nya lalu menjawab meski dalam hati, “ loser is a loser” pecundang ya pecundang. Saya tak akan menyalahkan siapa-siapa atas kekecewaan  di malam itu karena toh saya sendiri yang menempatkan diri saya dalam lembah percobaan dengan terus mendukung Timnas Indonesia. Jika malam itu saya memaki, mencaci atau bahkan menghujat permainan dari kumpulan pemain negeri ini, sebaiknya anda tak perlu terlalu peduli, anda pun tak perlu memasukan nya ke dalam hati, karena apapun yang terjadi, saya akan selalu kembali mendukung Indonesia dengan sepenuh hati.





Rabu, 27 Februari 2013

Suatu Pagi di Appiano Gentile...









Seorang pria dengan celana sporty selutut  berjalan santai seraya menenteng secangkir cappuccino hangat ala Italia yang mungkin sama melegenda nya dengan nama pria itu. Ia kemudian mengambil posisi duduk menyandarkan bahu di iringi desis angin pagi Pegunungan Alpen yang berhembus seusai melewati hutan pinus dekat lokasi latihan yang berjarak sekitar 30 km dari pusat kota Milan itu. Cangkir yang tadi ia bawa kini ia letakkan di sebuah meja kecil di hadapan nya mempersilahkan pasukan asap dari cappuccino favoritnya terbawa hembusan angin yang masih saja ia rasa sejuk sejak pertama kali ia tiba di tempat itu belasan tahun lalu. Dulu ia sering menghabiskan waktu pagi seperti ini bersama rekan-rekan nya dari berbagai negara. Ia teringat seorang pria plontos rekannya asal Kamerun yang terkenal dengan ketajaman nya di kotak penalty lawan. Ia juga teringat rekan nya asal Brazil yang kini terdampar di jurang klasemen dengan tim barunya  yang berlokasi di London. Dan ia masih saja tak bisa melunturkan ingatan akan kerjasama berbuah treble dengan pria eksentrik asal Portugal yang memang spesial.



 Sebelum menyambar harian pagi yang tergeletak di atas meja, ia tersenyum kecil mengingat apa yang baru terjadi di akhir pekan kemarin. Rasa haru dan bangga hadir berbarengan ketika ia mengingat bagaimana seorang rekan nya yang baru di datangkan pada Januari kemarin menjadi penyelamat lewat tandukan nya di pertengahan babak kedua. Pemain baru dengan rambut gondrong nya itu melakukan tugasnya sebagai pemain pengganti dengan sangat baik. Ia mungkin agak sedikit menyesal ketika rekan barunya itu melakukan selebrasi usai mencetak gol dan ia tak ikut serta mengerubungi nya seperti rekan nya yang lain. Ia lebih memilih berlari dengan gagah menuju bench di akhiri dengan pelukan hangat kepada pelatih yang belakangan ini mulai mendapat kritikan atas rentetan hasil kurang memuaskan di laga-laga sebelumnya. Hasil tandukan rekan barunya itu mungkin tak lantas memberi poin tiga yang di rencanakan, tapi ia pun segera sadar bahwa hasil imbang yang di dapat pada akhir pekan kemarin adalah hasil yang cukup untuk mentahbiskan bahwa ia dan tim nya tidak kalah dari rival sekota pada musim ini.



Sejak 1995, sudah puluhan bahkan ratusan rekan nya dari berbagai negara dan bermacam posisi datang dan pergi. 2010 lalu di mana tim nya memasuki era keemasan di abad millennium ia di kelilingi pemain-pemain tangguh multi negara di dampingi pelatih kelas wahid yang mampu mewujudkan impian presiden klub dan semua orang yang mencintai klub tersebut. Kini, tak ada lagi pria kidal asal Brazil yang menjadi tembok terakhir tim nya ketika di serang lawan. Tak ada lagi pengatur serangan cerdas asal Belanda. Dan tak ada lagi ujung tombak hitam legam asal Kamerun yang gemar mengoyak jala lawan. Namun itu semua tak pernah membuatnya sedih atau ingin pergi. Ia tetap bertahan dan belum memutuskan berhenti sambil terus membangun kerjasama dengan semua rekan barunya yang juga berkualitas dan pantas ada di klub tersebut. Akhir pekan kemarin, ia punya pria yang juga sangat tangguh di bawah mistar dengan menggagalkan 2 peluang bersih dari pemain lawan yang punya julukan “Super”. Ia pun kini punya rekan di lini tengah yang begitu kuat nan agresif sehingga di juluki Panther. Ujung tombak di tim nya kini juga di huni pemain haus gol dari rekan se negaranya Argentina di topang pemain lokal Italia yang kerap menghadirkan umpan-umpan spesial nan akurat.



Memang pada kenyataan nya di harian pagi yang sejak tadi tergelatak dan kini mulai ia buka, terpampang jelas bahwa  ia dan timnya tak lagi ada di posisi pertama klasemen liga. Ia dan tim nya kini ada di posisi yang cukup jauh dari posisi nyaman yang dulu kerap ia rasakan dengan rekan-rekan nya yang lain di 2010 lalu. Harian pagi yang baru sebentar saja ia buka, kini ia tutup dan letakkan lagi di atas meja kecil bersanding dengan cappuccino nya yang mulai mendingin. Sejenak ia menyambar cangkir dan menyeruput cappuccino favoritnya. Cappucino nya mungkin hampir habis dan pasti akan di habiskan nya, namun semangat dan kepercayaan nya kepada semua rekan setimnya kini tidak akan pernah habis. Ia akan terus percaya kepada SH1 di bawah mistar, ia akan terus percaya kepada bek kidal bernomor 40, ia akan terus percaya kepada si no 55 asal Asia, ia akan terus percaya kepada si gondrong bernomor 7, ia akan terus percaya pada wonder kid Eropa Timur yang mewarisi no legendaris 10 dan ia akan terus percaya bahwa klub yang memberikan no 4 dan ban kapten kepadanya akan kembali berjaya dengan materi pemain yang ada.

Jumat, 14 Desember 2012

Gabriele sempre con noi






11 November 2007 terjadi bentrokan antara Ultras Lazio dengan sekelompok Ultras Juventus di sebuah wilayah di kota Roma. Gesekan dua kelompok Ultras yang terkenal sebagai rival itu terjadi di sebuah jalan bebas hambatan dekat SPBU di Badia al Pino Arezzo. Polisi kota Roma berusaha membubarkan keributan tersebut. Seorang pria muda bernama Gabriele Sandri yang saat itu sedang berada di dalam mobil nya rupanya berada di waktu dan tempat yang salah. Seorang polisi kota Roma yang bernama Luigi Spaccarotella melepaskan tembakan dari pistol Beretta 92 caliber 9 mm miliknya dan peluru tersebut mengenai dan menembus leher Sandri. Satu peluru itu cukup untuk mengakhiri hidup seorang Gabriele Sandri. Seorang Ultras meninggal karena ulah arogan polisi.

Kematian naas Sandri tersebut menimbulkan kerusuhan yang merebak di seantero Italia. Kelompok Ultras dari semua klub di Italia mengecam tindakan brutalisme aparat yang bersembunyi di balik alibi “mengamankan”. Para Ultras dari beberapa klub tidak lagi mengidentifikasikan diri mereka dengan klub yang mereka dukung, tapi sebagai sebuah keluarga besar Ultras yang merasa terzalimi. Ultras Lazio dan Ultras As Roma yang biasanya berseberangan kala itu bersatu untuk kemudian melakukan aksi turun ke jalan dan berdemo di depan dua titik strategis yaitu di depan kantor Komite Olimpiade Nasional Italia ( CONI ) dan di depan kantor polisi terdekat. Aksi turun ke jalan yang berujung pada kerusuhan itu membuat kondisi ibukota Italia itu mencekam. Berbekal pentungan dan memakai topeng, ratusan Ultras membakar tong sampah, bus dan beberapa kendaraan termasuk kendaraan aparat milik kota Roma. Buntut dari aksi tersebut, 4 Ultras di tahan, 70 polisi terluka dan kerugian saat itu di taksir mencapai 75.000 Lira.

Gabriele Sandri  di makamkan pada Rabu 14 November 2007 dengan di awali misa di gereja paroki tempat dia menerima Sakramen Pemandian. Gereja tersebut terletak di Piazza Baldunia yang letaknya tak jauh dari kediaman dan toko milik keluarga nya yang di kelola oleh Sandri. Ribuan Ultras dari penjuru Italia menghadiri prosesi tersebut. Di hari rabu itu di kenang sebagai hari dimana Ultras bersatu. Berikut ini adalah catatan milik seorang Ultras AS Roma yang saat itu menghadiri upacara pemakaman Gabriele Sandri.

“ Saya memutuskan untuk menghadiri nya. Sebagian untuk menunjukan rasa hormat saya kepada nya, sebagian lagi karena kejadian ini membuat saya marah. Saya tiba di dekat gereja tersebut sekitar pukul 11.40 dan saat itu gerimis. Saya dan puluhan rekan lain berjalan melewati taman yang sudah penuh sesak oleh ribuan orang lain nya. Beberapa orang membentuk pagar betis di tangga menuju gereja, menahan kerumunan massa yang memenuhi empat penjuru taman di sekeliling gereja tersebut. sebagian massa saat itu adalah pemuda, tetapi jumlah perempuan dan lanjut usia pun cukup banyak. Media kala itu memperkirakan paling tidak ada 5000 orang di sana saat itu. Kelompok Ultras dari seluruh Italia terwakili. Saya melihat kelompok dari Juventus, Inter, Milan, Taranto, Avellino, Genoa, Cremonese dan Livorno serta banyak kelompok lain yang tidak saya kenali syal nya dari klub mana. Saya menyeruak kerumunan orang hingga mencapai pagar dimana terdapat tumpukan tinggi bunga dan syal dari berbagai klub di latarbelakangi sebuah tulisan “ KEADILAN BAGI SANDRI “. Di antara syal Lazio, saya melihat syal AS Roma, Inter, Juve, AC Milan, Udinese, Palermo dan banyak lain nya. Karangan bunga yang terpajang pun tak hanya berasal dari teman-teman Sandri dan pendukung Lazio, tetapi juga bahkan ada yang berasal dari Antonello Venditti yang merupakan pimpinan Ultras AS Roma dan dari petinggi Ultras lain nya.  Bahkan saya pun melihat karangan bunga berwarna ungu-hitam dari Fossa dei Leoni yang sebenarnya telah bubar sejak 2005 lalu.
Sementara di dalam gereja sudah penuh sesak oleh keluarga, kerabat dan wakil pemerintahan Italia. Ada Walter Veltroni dan Luciano Spaletti. Yang mengharukan, saya pun melihat “er pupone” Fransesco Totti yang menangis ketika dia memeluk ibunda Sandri. Seluruh skuad tim Lazio dan tim-tim usia mudanya lengkap hadir di sana, termasuk pelatih  Delio Rossi. Kami yang berada di luar tentu saja tidak dapat melihat dengan jelas atau mendengar upacara di dalam gereja. Semuanya hening. Hanya sesekali terdengar tepuk tangan ketika tim Lazio dan keluarga mereka tiba. Saya berdiri di dekat tokoh Irriducibili. Satu di antara nya memiliki tattoo di leher kanan bertuliskan ACAB. Saya berpindah tempat, sementara hujan semakin deras. Tepukan tangan berhenti ketika pemain Lazio yang terakhir masuk gereja. Kami berdiri dalam keheningan. Di depan saya ada seorang perempuan berumur sekitar 50an, seorang diri, memakai syal Lazio sambil meremas saputangan nya.
Orang-orang di belakang saya berbincang perlahan dengan bahasa Italia yang bukan beraksen  Roma. Pimpinan Banda Noatri tiba dan berdiskusi dengan pimpinan Irriducibili. Ketua mereka di penuhi tattoo bergambar salib, simbol-simbol fasisme dan simbol Lazio. Pukul 13.00 misa berakhir dan terdengar gemuruh tepuk tangan ketika peti jenazah Sandri di usung keluar. Ultras dari berbagai klub tanpa komando secara serentak dan kompak meneriakkan “ Gabriele uno di noi “ atau “ Gabriele, kamu bagian dari kami” . Sebagian massa lain mulai menyanyikan sebuah lagu. Awalnya terdengar kurang jelas, tapi kemudian mulai terdengar jelas dan itu adalah lagu “ Vola Lazio Vola .” sebelum hari itu saya hanya mendengar lagu tersebut ketika derby Roma dan saya mendengar nya dari Curva Sud yang kemudian akan dibalas oleh teriakan dari kami para Giallorossi.
Fans Lazio di seberang taman mulai bernyanyi dengan suara keras dan perempuan tua yang tadi berada di depan saya ikut bernyanyi dengan suara bergetar. Saputangan nya kini benar-benar lusuh. Hujan bertambah deras. Perempuan di depan saya itu tak lagi mampu menahan emosi nya dan mulai menangis dengan terisak di tengah gemuruh nyanyian “ Lazio sul prato verde vola, Lazio tu non sarai mai sola, Vola un’aquila nel cielo, piu in alto sempre volera.” Untung nya saya saat itu pun membawa tissue karena tanpa sadar saya pun mulai menangis…
Usai bernyanyi, terdengar kembali yel-yel “Gabriele sempre con noi.” Di awali beberapa orang, akhirnya kami mulai serempak menyanyikan lagu kebangsaan Italia. Para pimpinan Irriducibili dan Banda Noatri tegap memberikan hormat ala Romawi dengan tangan kanan terangkat ketika peti jenazah Sandri melewati mereka. Tanpa yel, tanpa slogan, hanya sebuah penghormatan.
Massa mulai mencair dan meninggalkan tempat di bawah lebatnya hujan. Para pemain Lazio menaiki bus tepat di depan saya dengan hening. Mereka mulai menghapus uap air dari jendela bis dan memandangi kami yang di luar dengan pandangan kosong. Bahkan, saya bisa melihat dengan jelas Mudingayi menempelkan wajah sedih nya ke jendela bus. Seiring beranjak nya bis pemain itu pergi, massa pun meninggalkan tempat dengan keheningan yang sama ketika mereka datang. Pulang ke rumah masing-masing. Sekitar 1000 orang Ultras Lazio menuju Olimpico, lalu berkumpul di bawah Curva Nord dan menyanyikan lagu-lagu Lazio.
Mentalitas Ultras memang beragam. Sebagian baik, sebagian buruk. Tetapi hari ini saya belajar tentang suatu hal. Hari ini mereka berdatangan dari berbagai kota : Milan, Turin, Naples, Palermo dan lainnya dengan biaya mereka sendiri, berdiri dua jam di bawah hujan, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada seseorang yang tidak mereka kenal, mereka bertepuk tangan untuk keluarga dan kerabat yang berduka, menyanyikan sebuah nama yang bahkan tidak di kenalnya seminggu yang lalu. Dan mereka semua pun membubarkan diri dalam damai. Anda mungkin menganggap perbuatan mereka ini tidak masuk akal, tetapi ini adalah fakta. Lalu, masihkah anda menganggap bahwa semua Ultras itu identik dengan kekerasan…???”

Pengadilan kota Roma memutuskan bahwa Luigi Spaccarotella bersalah dan menjatuhi hukuman 6 tahun penjara. Ketika Spaccarotella mengajukan banding, pengadilan justru menambah hukumannya menjadi 9 tahun 4 bulan karena menemukan bukti baru dengan adanya unsur kesengajaan. Gabtiele Sandri telah tiada dalam usianya yang tergolong muda. Tetapi Sandri adalah monumen untuk semua Ultras di Italia. Curva Nord di Olimpico kini berganti nama menjadi Curva Nord Gabriele Sandri dan jika anda berkesempatan untuk datang langsung ke sana, akan akan mendapati sebuah bangku yang sengaja selalu di kosongkan dan terdapat foto Sandri sebagai bentuk penghormatan kepada nya. Karena Sandri akan selalu berada di hati semua Ultras di Italia bahkan dunia. Sebuah yayasan bernama Fondazione Gabriele Sandri di dirikan dan tetap beraktifitas hingga kini.

“ Ciao Gabriele Sandri…  Gabriele sempre con noi…”