Rabu, 27 Februari 2013

Suatu Pagi di Appiano Gentile...









Seorang pria dengan celana sporty selutut  berjalan santai seraya menenteng secangkir cappuccino hangat ala Italia yang mungkin sama melegenda nya dengan nama pria itu. Ia kemudian mengambil posisi duduk menyandarkan bahu di iringi desis angin pagi Pegunungan Alpen yang berhembus seusai melewati hutan pinus dekat lokasi latihan yang berjarak sekitar 30 km dari pusat kota Milan itu. Cangkir yang tadi ia bawa kini ia letakkan di sebuah meja kecil di hadapan nya mempersilahkan pasukan asap dari cappuccino favoritnya terbawa hembusan angin yang masih saja ia rasa sejuk sejak pertama kali ia tiba di tempat itu belasan tahun lalu. Dulu ia sering menghabiskan waktu pagi seperti ini bersama rekan-rekan nya dari berbagai negara. Ia teringat seorang pria plontos rekannya asal Kamerun yang terkenal dengan ketajaman nya di kotak penalty lawan. Ia juga teringat rekan nya asal Brazil yang kini terdampar di jurang klasemen dengan tim barunya  yang berlokasi di London. Dan ia masih saja tak bisa melunturkan ingatan akan kerjasama berbuah treble dengan pria eksentrik asal Portugal yang memang spesial.



 Sebelum menyambar harian pagi yang tergeletak di atas meja, ia tersenyum kecil mengingat apa yang baru terjadi di akhir pekan kemarin. Rasa haru dan bangga hadir berbarengan ketika ia mengingat bagaimana seorang rekan nya yang baru di datangkan pada Januari kemarin menjadi penyelamat lewat tandukan nya di pertengahan babak kedua. Pemain baru dengan rambut gondrong nya itu melakukan tugasnya sebagai pemain pengganti dengan sangat baik. Ia mungkin agak sedikit menyesal ketika rekan barunya itu melakukan selebrasi usai mencetak gol dan ia tak ikut serta mengerubungi nya seperti rekan nya yang lain. Ia lebih memilih berlari dengan gagah menuju bench di akhiri dengan pelukan hangat kepada pelatih yang belakangan ini mulai mendapat kritikan atas rentetan hasil kurang memuaskan di laga-laga sebelumnya. Hasil tandukan rekan barunya itu mungkin tak lantas memberi poin tiga yang di rencanakan, tapi ia pun segera sadar bahwa hasil imbang yang di dapat pada akhir pekan kemarin adalah hasil yang cukup untuk mentahbiskan bahwa ia dan tim nya tidak kalah dari rival sekota pada musim ini.



Sejak 1995, sudah puluhan bahkan ratusan rekan nya dari berbagai negara dan bermacam posisi datang dan pergi. 2010 lalu di mana tim nya memasuki era keemasan di abad millennium ia di kelilingi pemain-pemain tangguh multi negara di dampingi pelatih kelas wahid yang mampu mewujudkan impian presiden klub dan semua orang yang mencintai klub tersebut. Kini, tak ada lagi pria kidal asal Brazil yang menjadi tembok terakhir tim nya ketika di serang lawan. Tak ada lagi pengatur serangan cerdas asal Belanda. Dan tak ada lagi ujung tombak hitam legam asal Kamerun yang gemar mengoyak jala lawan. Namun itu semua tak pernah membuatnya sedih atau ingin pergi. Ia tetap bertahan dan belum memutuskan berhenti sambil terus membangun kerjasama dengan semua rekan barunya yang juga berkualitas dan pantas ada di klub tersebut. Akhir pekan kemarin, ia punya pria yang juga sangat tangguh di bawah mistar dengan menggagalkan 2 peluang bersih dari pemain lawan yang punya julukan “Super”. Ia pun kini punya rekan di lini tengah yang begitu kuat nan agresif sehingga di juluki Panther. Ujung tombak di tim nya kini juga di huni pemain haus gol dari rekan se negaranya Argentina di topang pemain lokal Italia yang kerap menghadirkan umpan-umpan spesial nan akurat.



Memang pada kenyataan nya di harian pagi yang sejak tadi tergelatak dan kini mulai ia buka, terpampang jelas bahwa  ia dan timnya tak lagi ada di posisi pertama klasemen liga. Ia dan tim nya kini ada di posisi yang cukup jauh dari posisi nyaman yang dulu kerap ia rasakan dengan rekan-rekan nya yang lain di 2010 lalu. Harian pagi yang baru sebentar saja ia buka, kini ia tutup dan letakkan lagi di atas meja kecil bersanding dengan cappuccino nya yang mulai mendingin. Sejenak ia menyambar cangkir dan menyeruput cappuccino favoritnya. Cappucino nya mungkin hampir habis dan pasti akan di habiskan nya, namun semangat dan kepercayaan nya kepada semua rekan setimnya kini tidak akan pernah habis. Ia akan terus percaya kepada SH1 di bawah mistar, ia akan terus percaya kepada bek kidal bernomor 40, ia akan terus percaya kepada si no 55 asal Asia, ia akan terus percaya kepada si gondrong bernomor 7, ia akan terus percaya pada wonder kid Eropa Timur yang mewarisi no legendaris 10 dan ia akan terus percaya bahwa klub yang memberikan no 4 dan ban kapten kepadanya akan kembali berjaya dengan materi pemain yang ada.