Senin, 30 Januari 2012

Antara Profesi dan Nurani


Belum tepat pukul 5 pagi, seorang pria muda terjaga dari tidurnya. Setelah berdoa dan mengumpulkan nyawa, ia bergegas mandi untuk selanjutnya bersiap dan berpakaian rapi. Ia tak sarapan, hanya menyambar segelas teh manis hangat yang sempat ia buat. Pria itu tampak gagah dengan seragam kesatuan yang melekat di tubuhnya. Setelah semua di rasa siap, ia berangkat dengan sepeda motor sederhana miliknya menuju kantor tempatnya bekerja. Sebenarnya bukan di kantor ia bekerja, 10 jam kerjanya di habiskan di jalan,di emperan,atau bahkan di kawasan rawan. Masyarakat menyebutnya SATUAN POLISI PAMONG PRAJA atau SATPOL PP. Seperti biasa, setelah absensi dan apel pagi, ia bersiap untuk menjalankan tugasnya. Menertibkan,mensterilkan atau bahkan menggusur rakyat jelata yang hidupnya tak tertata. Amanat atasan akan di jalankan sesuai prosedur, tak peduli apa atau siapa yang akan di tertibkan.

 
Cacian, umpatan, atau hal-hal lain yang bersifat penolakan menjadi menu biasa dalam tugasnya setiap hari. Tak jarang pula ia harus menghadapi pria-pria tegap dan besar yang di lengkapi senjata tajam seolah hendak memukul mundur ia dan puluhan rekannya. Mungkin semua orang mengira ia sejahat itu, menggusur ratusan warga tak punya demi menuntaskan misi di apel pagi. Ia pun tak sekuat tenaga ketika berusaha merobohkan dinding non permanen milik warga. Ia pun sesungguhnya tak tega mengusir wanita-wanita tua yang seumur ibunya untuk memindahkan barang dagangan mereka. Semua demi tugas. Amanat atasan tak mungkin tak di jalankan. Ia butuh pekerjaan, dan menjadi SATPOL PP bisa menghidupinya meski harus mengusik hidup orang lain. Maka ketika setiap hari ia harus mengusir warga yang hidup liar, hanya hatinya yang menjerit :" Maaf saudara ku..."

Senin, 16 Januari 2012

Loyalitas Yang Tak Terbeli


Minggu 23 Mei 2010. Sabtu malam waktu Eropa atau minggu dinihari waktu Indonesia. Di kota Madrid ibukota Spanyol tepatnya di Estadio Santiago Bernabeu seorang pemain bernomor punggung 4 tampak begitu emosional merayakan apa yang baru saja ia dan tim nya peroleh. Ya, Javier Zanetti yang juga kapten dari Inter Milan malam itu akhirnya menjuarai Liga Champions yang pertama bagi dirinya dan yang ketiga bagi Inter Milan. Zanetti terlihat berurai air mata sesaat setelah peluit tanda berakhirnya pertandingan  di tiupkan. Hal yang sangat wajar jika kita mencermati pengabdian nya bagi klub berjuluk IL Biscione tersebut. Pria yang lahir pada 10 Agustus 1973 di Buenos Aires Argentina tersebut sudah lebih dari satu dasawarsa berkostum biru hitam. Ia adalah pemain pertama yang di datangkan oleh presiden terpilih kala itu yaitu Massimo Moratti. 27 Agustus 1995 saat Inter melawan Vicenza adalah kali pertama ia tampil bagi Inter. Dan sejak saat itu rekening waktu bermain nya bagi Inter terus bertambah secara konsisten dari musim ke musim. Ketika Inter mengalami masa suram dimana scudetto tak kunjung di raih, Zanetti tetap setia dan bertahan. Ia tak pernah lelah memberikan semangat kepada rekan-rekan se tim nya ketika tim sedang terpuruk. Ia selalu percaya dan optimis bahwa suatu hari nanti impian akan gelar bergengsi pasti akan terwujud dan Zanetti benar-benar bisa merasa bangga malam itu di Bernabeu. Tak peduli banyaknya pelatih yang datang dan pergi mulai dari Gigi Simoni, Marcelo Lippi, Marco Tardelli, Hector Cuper, Roberto Mancini hingga Jose Mourinho semuanya tetap mempercayakan satu tempat bagi Javier Zanetti di starting line-up. Ia seolah terlahir hanya untuk Inter Milan. Maka tak heran ketika bek legendaries Inter yaitu Beppe Bergomi gantung sepatu, hanya lengan Javier Zanetti lah yang paling pantas mengenakan ban kapten bahkan hingga partai puncak Liga Champions malam itu. Zanetti malam itu seolah sudah selesai menjalankan semua tugasnya, mulai dari scudetto bahkan hingga 4x berturut-turut, Coppa Italia,Piala Super Italia, Piala Uefa hingga akhirnya Piala Liga Champions sudah berhasil ia rengkuh bersama Inter Milan. Sebuah gelar yang menjadi impian Don Massimo beserta semua skuad di dalamnya dan tentu saja sebuah gelar yang sangat di nantikan oleh jutaan Interisti di seluruh dunia. Maklum, Inter terakhir kali merengkuh gelar itu sudah lebih dari 30 tahun yang lalu tepatnya tahun 1964. Tak heran muncul cibiran dari para Milanisti “ Inter hanya mampu meraih gelar Liga Champions sebelum manusia mendarat di bulan.” Tapi malam itu Inter Milan dengan Javier Zanetti di dalamnya menjawab semua kritikan soal kutukan Inter di ajang Liga Champions. Malam itu semua pengabdian dan loyalitas tak terbatas dari sang il capitano terbayar lunas. Dan akhirnya kita bisa melihat bahwa di era sepakbola modern seperti sekarang ini dimana kapitalisme mulai merasuki,masih ada sosok panutan yang tetap setia bersama klubnya. Masih ada pemain yang tak tergiur untuk pindah klub hanya demi kibasan setumpuk uang dan rayuan gaji selangit. Dan Javier Zanetti seolah memberi sebuah pelajaran bahwa kesetiaan yang di sertai pengabdian pasti akan berujung indah pada waktunya. Saya bisa membayangkan perasaan penyesalan luar biasa dari seorang Zlatan Ibrahimovic yang di awal musim kala itu memutuskan pindah ke Barcelona karena iming-iming gaji yang lebih tinggi. Ia memang juara liga bersama klub barunya tersebut, namun ia gagal memenuhi ambisinya menjuarai Liga Champions karena justru pindah ke klub lain dan sialnya klub yang menggagalkan Barcelona menjuarai Liga Champions adalah Inter Milan di babak semifinal. Sangat ironis. Satu keputusan bisa sangat berpengaruh bagi kehidupan si pengambil keputusan, dan keputusan Javier Zanetti untuk tetap setia dan mengabdi kepada satu klub yaitu Inter Milan berbuah trophy Liga Champions yang seorang Maradona sekalipun belum pernah meraihnya.


Selain Javier Zanetti yang begitu loyal terhadap klubnya, masih ada nama-nama lain yang patut mendapat apresiasi atas kesetiaan nya. Kita wajib menyebut satu nama yaitu Paolo Maldini. Pemain yang terlahir dengan DNA Ac Milan. Seluruh karier sepakbolanya di habiskan hanya untuk I Rossonerri. Tak perlu di tanya berapa gelar yang ia raih bersama AC Milan. Keputusan dari Ac Milan untuk mempensiunkan nomor punggung 3 sudah cukup menggambarkan betapa besarnya pengabdian Maldini bagi klub tersebut. Dan nomor 3 itu hanya boleh di kenakan kembali oleh dinasti Maldini berikutnya. Lalu ada nama Francesco Totti. Julukan nya tak main-main, Pangeran ibu kota…!!! Il Principe Totti adalah didikan asli AS Roma dan melakukan debutnya untuk tim senior sebagai pemain pengganti pada 28 Maret 1993 saat melawan Brescia. Dan 18 bulan berselang atau lebih tepatnya pada 24 September 1994 ia mencetak gol pertamanya bagi AS Roma kala menghadapi Foggia yang berakhir dengan skor imbang 1-1.  Mulai saat itu seiring dengan berkembangnya bakat yang ia miliki,Ia menjadi adalah pemain paling berpengaruh bagi tim ibukota tersebut. Baik di dalam maupun di luar lapangan. Totti seolah tak tersentuh oleh pemain manapun yang datang ke AS Roma. Semua pemain berlabel bintang yang menjadi bagian AS Roma, seolah menjadi pemain biasa saja ketika sudah bermain bersama Totti. Bahkan muncul sebuah persepsi, “ saat datang pertama kali ke AS Roma, temuilah Francesco Totti, setelah itu baru temui sang pelatih.” Saya pribadi tak pernah membayangkan jika Totti bermain bagi klub lain. Juventus, AC Milan, Manchester United hingga Real Madrid pernah mencoba menjadikan Totti sebagai pemain incaran di bursa transfer. Namun sebelum terjadi nya negosiasi, Totti selalu menutup pintu keluar bagi dirinya sendiri. AS Roma adalah Totti dan Totti adalah pangeran nomor satu AS Roma. Jangan heran jika suatu hari nanti kita akan melihat dan mendengar kabar bahwa Totti akan menjadi pelatih atau bahkan presiden di klub berlogo serigala tersebut.


Dari tanah Inggris muncul satu nama yang pantas kita sebut. Ryan Joseph Giggs. Pemain kelahiran Canton Cardiff, Wales pada 29 November 1973 itu juga terbilang memiliki kesetiaan yang juga sensasional.  Sudah lebih dari 20 tahun ia berseragam Red Devils. 2 Maret 1991 di Old Trafford ketika menghadapi Everton, itu adalah kali pertama ia tampil bagi United. Dan yang menarik, gol pertama kali yang ia buat untuk United adalah ketika menghadapi sang tetangga Manchester City. Ia sudah memecahkan dan melewati rekor penampilan milik Sir Bobby Charlton yang berjumlah 758 kali penampilan. 11 gelar Liga Inggris, 4 Piala FA, 2 Piala Liga, dan 2 Piala Liga Champions adalah catatan prestasi mentereng milik Ryan Giggs seorang. Ia juga tercatat sebagai satu-satunya pemain di Liga Inggris yang selalu mampu mencetak gol di 11 musim secara berturut-turut. Fantastis. Sebuah rekor pribadi yang saya yakin bakal sulit  di samai atau di kalahkan oleh pemain manapun. Dan jika kita melihat asal negara Giggs yang sebetulnya tidak memiliki sejarah hebat di sepakbola, di tambah lagi posisi bermain nya yang membutuhkan stamina ekstra, nyata nya Giggs mampu bertahan dan tetap mendapat tempat serta bermain baik setiap kali di beri kesempatan oleh Sir Alex Ferguson. Bagi saya pribadi, ia lah “The King” Old Trafford yang sesungguhnya, bukan Eric Cantona seperti yang orang sering bicarakan. Atas semua kerja keras dan dedikasi nya terhadap sepakbola, ia mendapat gelar kehormatan dari Ratu Elizabeth ll. Saya berharap suatu saat nanti ketika Giggs akhirnya memutuskan gantung sepatu dari semua aktifitas sepakbola, Manchester United klub tempatnya mengabdi bersedia mempensiunkan nomor 11 milik The Real “King” Old Trafford, Ryan Joseph Giggs.


Selain nama-nama di atas, masih terdapat nama-nama lain yang bisa di kategorikan loyal terhadap klub yang di belanya. Carles Puyol dan Xavi Hernandez di Barcelona, Iker Casillas di Real Madrid, Alesandro Del Piero di Juventus dan nama-nama lain yang tak bisa saya ucapkan satu persatu. Saya selalu menaruh rasa kagum kepada para pemain yang memiliki dedikasi luar biasa terhadap satu klub yang di belanya. Tak bisa di pungkiri bahwa sepakbola dewasa ini telah menjadi komoditi bisnis,tak lagi soal olahraga mengolah si kulit bundar. Investor kaya raya mulai mencium aroma bisnis menggiurkan dari sepakbola. Tak heran bila pemilik klub sekarang berusaha sebisa mungkin membangun klub yang kompetitif tentunya dengan sokongan dana yang terbilang fantastis.  Setiap pemain yang di rasa kompeten di posisi nya di rayu dengan setumpuk uang agar mau berpindah klub dan melupakan loyalitas yang di era sebelumnya masih sangat kental di dunia sepakbola. Dan nama-nama di atas tadi tak terbawa dalam arus kapitalisme di sepakbola. Mereka termasuk kategori pemain langka di era sepakbola modern. Saya pun tak menyalahkan pemain yang berpindah klub karena rayuan uang dan iming-iming gaji selangit. Namun, apakah dengan berpindah klub karena uang semata sang pemain bisa merasa lebih bahagia dari keadaan di klub lamanya…??? Mengapa harus mengatas namakan mencari prestasi lantas berpindah klub dengan bayaran yang jauh di atas rata-rata…??? CR7 tentu tak hanya ingin mencari prestasi saja ketika memutuskan pindah ke tanah Spanyol. Toh ia sudah meraih gelar liga dan Eropa bersama Manchester United. Ada motif uang di sana dan Real Madrid mampu menyediakan itu untuk mendatangkan asset bisnis sepakbola di era modern itu.


Dan pada akhirnya, 10 tahun dari sekarang, saya pribadi mungkin akan merindukan sosok-sosok luar biasa seperti Javier Zanetti, Francesco Totti, Ryan Giggs dan nama nama lain nya yang begitu loyal terhadap klub yang di bela dan membesarkan nama mereka. Semoga nantinya ada nama lain yang muncul sebagai para pengganti dari nama-nama di atas tadi. Semoga masih ada pemain yang tak terbawa arus kapitalisme di sepakbola dan lebih memilih setia bersama klubnya ketimbang berpindah klub demi tumpukan uang semata.

Minggu, 15 Januari 2012

Elegi Hati Ini

jika hati adalah sebuah ruang, maka di nyaman nya ruang hatiku ini terdapat satu ruang berpintu khusus yang begitu bercahaya. di muka pintu itu tertera nama mu, terpahat deretan huruf sehingga membentuk nama mu.
bukan aku yang memasang nama mu di situ, tapi jiwaku... rupa nya jiwaku yang memastikan bahwa hanya sosokmu yang pantas ada di hati ku.
ruang yang kau huni di hati ini mungkin tak memiliki pendingin, tapi kau tak pernah merasa risih karena aku selalu meniupkan angin cinta untuk mu...
ruang yang kau huni mungkin remang tapi pasti ada aku yang senantiasa menyinari hari-hari mu...
kau bahkan tak mengeluh ketika ruang di hati ini tak seluas ruang di hati yang lain karena kau tahu yang terpenting bukanlah ukuran, melainkan kesetiaan dan pengorbanan...
kini ruang itu kosong... tak berpenghuni...
semenjak kau pergi dan menyerah untuk terus bersamaku yang sedang berjuang...
kau telah menemukan ruang baru di hati yang lain yang mungkin lebih istimewa dari ruang di hatiku ini.
ruang itu kini benar-benar gelap, karena belum ku izinkan sesosok lain masuk dan tinggal di dalamnya.
hingga akhirnya aku menyadari, namamu masih tertera di pintu ruang itu...agak kotor, tak terawat tapi tetap terbaca namamu jika aku mendekat.
aku mungkin bisa berhenti memikirkan mu... tapi tidak melupakan mu...

Euforia Ini Juga Karena Riedl

Ada sebuah fenomena baru di Indonesia yang mulai bergelora di akhir 2010 lalu. Tiba-tiba hampir di semua tempat di seluruh Indonesia bisa di temui banyaknya masyarakat yang memakai kaos tim nasional Indonesia. Kaos berwarna merah yang dengan mudahnya bisa di temui dan di beli di seluruh toko olahraga maupun pusat perbelanaan hingga pedagang kaki lima. Itu semua tak lepas dari penampilan tim nasional Indonesia di ajang AFF Cup yang kebetulan di gelar di Jakarta. Penampilan yang menurut orang banyak lebih menjanjikan dari tahun-tahun sebelumnya. Dan sejak partai kedua kala itu ketika Indonesia mampu berpesta gol ke gawang Laos, masyarakat seperti mendapat gairah baru untuk berduyun-duyun datang langsung dan menonton ke GBK.



Semua kalangan secara spontan menjadi begitu menggilai sepakbola. Tak peduli artis,politisi,pria segala usia hingga wanita pun rela untuk menyempatkan waktu dan tenaga untuk mendukung tim nasional saat berlaga. Menonton timnas bertanding kala itu menjadi hobby baru mengalahkan banyaknya pilihan hiburan yang tersedia di Jakarta. Walaupun untuk mendapatkan tiket bukanlah perkara mudah,tetap saja stadion terisi penuh. Bahkan dari laporan panpel saat itu jumlah penonton yg masuk melebihi jumlah tiket yang di cetak.
Jika mau di runut, apa yang membuat gairah sepakbola kembali bangkit tak lain adalah dari permainan timnas itu sendiri. Di tambah lagi kehadiran muka-muka baru dan pemain naturalisasi semakin menjadi daya tarik. Di balik kecemerlangan permainan timnas kala itu tak lain adalah kehadiran sesosok pelatih “bertangan dingin” bernama Alfred Riedl. Pelatih berkebangsaan Austria yang mampu mengeluarkan semua bakat yang di miliki pemain Indonesia. Riedl kala itu seolah mendobrak pakem yang ada selama ini, timnas di matangkan dengan formasi sepakbola modern yaitu 4-3-3 dengan kombinasi para gelandang yang mau bekerja keras. Ia memainkan pemain yang berjiwa petarung,pemain yang mau bermain dengan semangat kebangsaan. Ia dengan tegas dan berani mencoret pemain yang menurutnya tak membawa dampak positif bagi tim sekalipun pemain itu bertalenta seperti Boas Salossa. Semua orang sempat kaget dan sedikit kecewa dengan keputusan itu,bagaimana mungkin pemain terbaik di kompetisi lokal yang juga berpredikat pencetak gol terbanyak tak di sertakan di tim nasional…??? Riedl bergeming dan tetap pada pendirian nya. Di mata Riedl, untuk apa pemain berbakat jika tak disiplin…??? Riedl ingin ketika pemain di panggil tim nasional pemain itu melepaskan status kebintangan nya di klub, dan Boas belum siap melepas status kebintangan nya sehingga merasa di butuhkan meski itu melanggar aturan yang Riedl tetapkan.



Meski di terpa banyak kritikan dan rasa ketidakpercayaan dari masyarakat, Riedl tetap tegar dan berkonsentrasi mempersiapkan tim baik secara teknis maupun non teknis. Partai pertama pun tergelar melawan Malaysia. Karena bermain di Jakarta, Indonesia di unggulkan untuk menang. Harapan itu pun terwujud meski sempat tertinggal terlebih dahulu akhirnya Indonesia menang dengan skor 5-1…!!! Setelah partai pertama yang begitu menjanjikan, semua kritikan terhadap Riedl berubah menjadi pujian. Ia di nilai mampu mengkombinasikan pemain senior dengan muka-muka baru seperti El Locco Gonzales, Okto Maniani, M.Nasuha hingga Irfan Bachdim. Dari partai pertama itupun kita bisa melihat bagaimana semangat tim Indonesia untuk menang. Sempat tertinggal, Indonesia mampu keluar dari tekanan sebagai tuan rumah dan berbalik unggul dengan telak.  Riedl pun tak ragu membangku cadangkan “ikon” Persija dan Timnas yaitu Bambang Pamungkas yang kala itu di nilai telah menurun kualitasnya,meski pada akhirnya Riedl punya maksud lain dengan tetap menyertakan Bambang. Riedl tahu BP lah yang paling senior dan Riedl butuh sosok seperti itu untuk menjadi kepanjangan nya saat di lapangan. Riedl juga tahu BP bisa menjadi informan penting bagi dirinya agar bisa mengenal pemain nya satu persatu. Dan belakangan pun di ketahui, setelah Riedl di tunjuk untuk menjadi pelatih Timnas Indonesia untuk AFF Cup 2010, BP adalah pemain pertama yang di temui nya karena Riedl tahu BP pemain paling senior dan paling mengenal semua personel Timnas.
Partai kedua Indonesia di lalui dengan lebih mulus dan terkesan mudah karena memang menghadapi tim yang secara kelas dan tradisi selalu mampu kita taklukan. Laos di libas 6-0. Dan setelah partai melawan Laos,publik seolah tersihir dengan muka baru Timnas bernomer punggung 17. Irfan Bachdim menjadi buah bibir bagi semua penikmat sepakbola kala itu terlebih lagi bagi kaum hawa. Selain masih muda dan memiliki wajah yang rupawan, Irfan memang menampilkan permainan yang baik di dua laga awal kala itu. Didikan sekolah sepakbola Ajax Amsterdam di Belanda itu mampu menjadi pembeda permainan Timnas Indonesia dengan kemampuan nya melewati lawan,mencari ruang hingga ketenangan nya mejebol gawang lawan. Irfan Bachdim benar-benar terkenal saat itu meski jika di pikirkan lagi, Bachdim baru melakoni dua partai dengan kualitas lawan yang tidak bisa di bilang bagus untuk menguji kemampuan terbaik seorang pemain hebat.
Lalu partai ketiga melawan jagoan utama Asia Tenggara yaitu Thailand yang juga di latih oleh mantan punggawa tim nasional Inggris, Bryan Robson. Dengan kondisi sudah menang di dua partai awal,Indonesia sudah di pastikan melaju ke babak semifinal. Tapi ada sebuah misi yang di usung para pemain Indonesia ,”memulangkan” Thailand lebih awal. Skenario seperti itu muncul dengan tujuan agar jalan Indonesia untuk menjadi juara bisa semakin lancar dengan gugurnya salah satu tim terkuat. Setelah babak pertama berakhir dengan skor “kacamata”,babak kedua di awali dengan jual beli serangan dengan intensitas yang tinggi. Thailand tak ingin pulang lebih awal,sementara Indonesia ingin lolos dengan nilai sempurna sekaligus menjaga kehormatan sebagai tuan rumah. Seisi GBK sempat terhenyak dan terdiam ketika Thailand mampu mencetak gol dan memimpin 1-0. Saat itu lah intuisi Riedl bekerja. Ia merasa perlu memasukkan pemain senior untuk menghadapi kondisi yang buntu. Berkali-kali menyerang namun gagal,dan hal itu membuat Riedl segera memasukkan satu striker tambahan yaitu Bambang Pamungkas. Dan berkat determinasi tinggi dan keinginan untuk menang yang kuat datanglah peluang untuk menyamakan kedudukan. Indonesia mendapat hadiah penalty akibat pelanggaran terhadap el Locco Gonzales. Tiada nama lain yang muncul untuk mengeksekusi penalty tersebut selain nama sang kapten BP.  Dengan ketenangan dan kematangan nya sebagai pemain berpengalaman,BP mampu menyamakan kedudukan dengan sebuah tendangan penalty yang mengecoh kiper Thailand,Kosin Hatairattanakool. GBK kembali ceria. Seisi stadion seolah hidup lagi. Harapan untuk menang terbuka lebar. Dan lewat sebuah serangan individu dari Arif Suyono,bola sepakan nya membentur telak tangan dari pemain belakang Thailand di kotak penalty nya. Penalti lagi…!!! Dan sama seperti eksekusi yang pertama BP pun kembali mampu menaklukkan Kosin sekaligus membawa Indonesia unggul untuk akhirnya menang dengan skor tipis 2-1…!!! Thailand gugur dan Indonesia lolos dengan nilai sempurna 9 hasil 3 kemenangan.



Tulisan ini bukan untuk menceritakan perjalanan tim Indonesia selanjutnya di turnamen itu. Karena kita semua tahu bahwa untuk kesekian kalinya kita gagal di final meski sejak awal penampilan Indonesia begitu meyakinkan. Kita kembali kandas ketika hasrat untuk juara sudah di depan mata. Dan saya pribadi sama sekali tak menyalahkan Riedl dkk yang sudah bekerja maksimal memoles tim nasional hingga mampu bermain baik dan menghibur. Semua euforia yang hingga kita masih melanda negeri ini juga merupakan salah satu efek dari kehadiran Riedl. Saya ingat betul ketika suatu waktu ia di undang di sebuah acara talkshow, Riedl mendapat satu pertanyaan yang juga sudah lama ingin di tanyakan oleh banyak orang yaitu, “ mengapa anda jarang sekali tersenyum? Bisakah anda tersenyum sekali saja?”  Riedl diam sejenak. Lalu akhirnya menjawab, “ Saya di bayar bukan untuk tersenyum, saya di bayar untuk bekerja dengan baik. Maaf saya gagal mempersembahkan gelar untuk Indonesia.” Jawaban yang di tutup dengan sebuah senyum kecil penuh makna.  Itu pertama kalinya saya pribadi melihat beliau tersenyum dan jawaban Riedl tadi sungguh menggambarkan etos kerja nya yang luar biasa. Ia benar-benar sosok pekerja keras yang menjunjung tinggi kejujuran dan kedisiplinan. Dan tim nasional Indonesia butuh sosok seperti Riedl untuk dapat memajukan persepakbolaan negeri ini. Sosok yang mampu menumbuhkan rasa percaya diri kepada para pemain nya. Sosok yang mampu mengeluarkan semua karakter bertarung ketika sudah berada di lapangan. Saya pun jadi mengerti mengapa M.Nasuha yang pada saat turnamen sempat mengalami cedera kepala tetap memaksakan diri untuk tampil meski harus mengenakan perban. Riedl menanamkan rasa nasionalisme kepada anak asuhnya agar selalu semangat dan bermain dengan mengeluarkan semua kemampuan terbaik yang di miliki.


Maka kini ketika saya melihat dengan mata kepala saya sendiri ketika dimana mana banyak orang dari berbagi kalangan dan usia dengan bangga memakai seragam merah tim nasinal Indonesia, saya merasa inilah salah satu karya peninggalan Riedl yang masih tersisa. Fenomena cinta tim nasional Indonesia kembali bergelora dan salah satu faktornya bersumber dari sesosok pria yang bahkan bukan berasal dari Indonesia. Terima kasih Riedl. Tangan dinginmu mampu memanaskan api cinta sepakboola di negara ini. Dan di akhir tulisan ini saya berharap suatu saat nanti ketika saya dan ribuan penggemar sepakbola lainnya datang ke GBK untuk menyaksikan Indonesia berlaga, saya bisa melihat di sisi lapangan ada sosok Alfred Riedl kembali menjabat sebagai pelatih kepala untuk tim nasional sepakbola Indonesia.

Jumat, 06 Januari 2012

Bengal yang Potensial


Belum lama ini asosiasi sepakbola di Inggris yang di kenal dengan sebutan FA, menjatuhkan sanksi berupa larangan tampil sebanyak 8 pertandingan plus uang sejumlah 80.000 pound kepada striker Liverpool yaitu Luiz Suarez. Hukuman tersebut di jatuhkan akibat tindakan rasis yang dilakukan Suarez terhadap bek kiri Manchester United, Patrice Evra. FA butuh waktu beberapa pekan untuk menjatuhkan keputusan tersebut. Setelah di lakukan investigasi mendalam termasuk membaca gerak mulut,akhirnya di nyatakan bahwa Suarez memang melakukan tindakan yang masuk kategori rasis. Ini bukan kali pertama Suarez mendapatkan hukuman akibat ulahnya. Sewaktu masih membela Ajax, Suarez pernah di jatuhi hukuman yang nyaris serupa akibat berkelahi dengan salah seorang pemain dari NAC Breda. Bahkan sebelum vonis di jatuhkan oleh FA terkait tindakan rasis nya, Suarez pun masih berulah dengan mengacungkan jari tengahnya ke arah pendukung Fulham yang mencemoohnya. Di balik bakat sepakbola yang di milikinya, Suarez masih mempunyai sifat nakal yang malah bisa di sebut bengal dan Suarez bukanlah satu-satunya pemain dengan tipikal seperti itu.


Wayne Rooney adalah salah satu contoh pemain asli Inggris yang potensial namun juga nakal. Ia pernah tertangkap basah oleh kamera sedang berada di salah satu rumah bordil di selatan London padahal kala itu istrinya sedang hamil 7 bulan. Dan Wayne Rooney mungkin adalah satu-satunya pemain di bawah dinasti Sir Alex yang berani mengancam hengkang apabila gajinya tidak di naikkan. Dan hebatnya,hal itu di kabulkan bahkan oleh Sir Alex Ferguson sendiri…!!! Lalu ada Craig Bellamy dari Wales yang juga terkenal bengal dan sering bertindak ceroboh baik di dalam maupun di luar lapangan. Di saat para pemain lain memilih untuk pulang ke rumah sehabis latihan, ia malah memilih menghabiskan waktu ke diskotik atau klub-klub malam sekedar untuk mabuk atau malah membuat keributan. Ia pernah kedapatan menyerang dan memukuli sekelompok pemuda yang sedang bersantai di sebuah klub malam. Rekan setimnya dulu di Liverpool, yaitu John Arne Riise pun sempat merasakan kebrutalannya setelah di pukul dengan sebuah stik golf hanya karena saling ejek ketika sedang bersama-sama berada di bar.


Dari negeri pizza Italia, ada nama Antonio Cassano yang bertipikal bengal namun juga potensial. Bolos berlatih,berselisih dengan pelatih hingga berkelahi di dalam lapangan adalah sisi negative dari pemain yang berjuluk Peterpan tersebut. Ketika masih bermain untuk AS Roma, ia terang-terangan meminta gaji dan perlakuan yang sama persis seperti yang di terima oleh il principe Francesco Totti. Suatu tindakan yang jelas-jelas bodoh mengingat ia bukanlah asli produk AS Roma junior dan kala itupun Cassano belum cukup matang untuk menerima apa yang ia minta. Dan kebodohan nya itu pula yang membuatnya terusir dari tim AS Roma. Sudah banyak pelatih yang memiliki masalah pribadi dengan Cassano. Contohnya adalah Fabio Capello. “ kalau saya nanti menjadi pelatih tim nasional Italia, apapun kondisinya,saya tidak akan pernah menyertakan nama Cassano…!!!.” Dan bukan Cassano namanya jika tak membalas, “ Capello seorang yang ortodoks, ia bahkan lebih palsu dari uang monopoli sekalipun…” ujarnya dengan santai. Walter Novellino adalah salah satu pelatih yang cukup sukses dalam menangani sifat buruk Cassano. Ia dengan sabar dan pengertian memahami kalau Cassano bukanlah pemain lain yang bisa di perlakukan biasa. Dan Cassano pun seolah memberi bukti bahwa jika ia bisa merasa nyaman dengan kondisi internal tim, maka ia akan bermain melebihi dari apa yang orang kira bisa ia lakukan. Sampdoria ia angkat menjadi kekuatan baru di Serie-A. Cassano benar-benar menunjukkan jika ia memang salah satu bakat terbaik yang pernah di miliki Italia. Kehadiran anak pertama nya yang ia beri nama Christopher pun di percaya membuat Cassano lebih dewasa dalam bersikap,baik di lapangan maupun di luar lapangan. Tapi hal yang di takutkan pun terjadi, ia berselisih lagi dan kali ini dengan presiden klub Sampdoria yang secara otomatis membuatnya keluar dari tim untuk kemudian berlabuh bersama AC Milan. Lalu ada nama Marco“Matrix” Materazzi, bekas bek Inter Milan sekaligus palang pintu tim nasional Italia ini juga terkenal akan kebengalan nya. Ia adalah aktor utama dari terusirnya Zidane di final Piala Dunia 2006 dan dia juga yang mencetak gol untuk menyamakan kedudukan setelah Italia sempat tertinggal dari Prancis. Ia melakukan tindakan yang sangat rasis sehingga Zidane pun yang biasanya tenang dan tidak mudah terpancing akhirnya emosi dan menanduknya hingga terkapar. Matrix juga pernah melakukan selebrasi kemenangan Inter atas AC Milan dengan memakai topeng bergambar Silvio Berlusconni. Hal itu jelas mendapat kecaman dari berbagai pihak termasuk dari presiden Inter sendiri yaitu Massimo Moratti. Tapi hingga detik ini pun Matrix belum pernah sekalipun melontarkan permintaan maaf secara terbuka atas aksinya tersebut.


Dan jika kita membicarakan pemain bertipikal bengal namun potensial dari tanah Italia, kita pasti akan menyebut satu nama. Ya, Mario Balotelli. Pemain yang masih memiliki darah Ghana tersebut adalah pemain yang sangat potensial dan berbakat namun juga memiliki sisi negative yang begitu kental dalam dirinya. “ Balotelli adalah pemain paling berbakat yang pernah saya latih, tapi saya sama sekali tidak tahu bagaimana cara ia menggunakan otaknya.” Jose Mourinho pernah berujar seperti itu kala masih menukangi Inter Milan. Saat masih di Inter, ia pernah kedapatan sedang berbelanja di pertokoan kota Milan menggunakan jersey AC Milan…!!! Hal itu jelas membuat murka para Interisti yang langsung mencemoohnya ketika ia bermain di Giuseppe Meazza. Sehabis partai leg pertama semifinal Liga Champion melawan Barcelona pada 2010 lalu, ia membuka kaos Inter Milan dan membantingnya ke tanah seraya pergi meninggalkan rekan nya yang sedang merayakan kemenangan. Setelah memutuskan pindah ke Inggris, Balotelli masih saja berulah. Ia beberapa kali terlibat perselisihan ketika latihan dengan rekan setim, mulai dari Adebayor, Kolo Toure hingga Micah Richards. Alangkah ironisnya jika bakat besar yang di milikinya malah tertutup oleh serangkaian aksi bengal yang sebetulnya tak perlu ia lakukan.


Semua contoh pemain bengal namun potensial yang saya sebutkan tadi,sebetulnya hanyalah sedikit nama yang ada dari dunia sepakbola. Mereka terkenal tak hanya karena kemampuan teknik di atas lapangan tapi juga karena kemampuan membuat masalah yang menjadikan mereka terkadang begitu di benci atau justru di cintai. Sosok pelatih atau orang yang mampu mengontrol para pemain bengal tersebut menjadi peranan yang sangat penting bagi kelangsungan karier si pemain. Suarez menjadi pemain yang kalem dan tenang ketika bermain untuk tim nasional Uruguay karena di sana ada sosok Oscar Tabarez yang begitu mengayomi para pemain nya sehingga Suarez pun menjadi hormat dan enggan untuk berulah. Rooney punya sosok ayah dalam diri Sir Alex Ferguson yang terus membimbingnya baik ketika di lapangan atau di luar lapangan. Bellamy juga sempat menjadi pemain baik-baik jika berada di bawah asuhan Mark Hughes. Cassano semenjak berkeluarga dan memiliki seorang anak telah bertransformasi menjadi sosok tenang namun tetap mampu menampilkan bakatnya. Materazzi sempat mengakui bahwa kehadiran Jose Mourinho benar-benar merubah semua temperamen buruknya. Dan Balotelli saja yang sepertinya masih mencari sosok yang mampu sedikit mengerem tindakan-tindakan nakalnya. Roberto Mancini pelan-pelan coba menata mental Balotelli meski Mancini sendiri mengakui bahwa itu bukanlah hal yang mudah.


Yang jelas, semua perubahan akan tercipta jika ada kemauan dan niat yang kuat dari subjek itu sendiri. Karena mereka pun sebetulnya hanya memilih, ingin menjadi pemain yang di kenal karena prestasi atau menjadi pemain yang di kenal namun selalu di benci.