Senin, 30 Januari 2012

Antara Profesi dan Nurani


Belum tepat pukul 5 pagi, seorang pria muda terjaga dari tidurnya. Setelah berdoa dan mengumpulkan nyawa, ia bergegas mandi untuk selanjutnya bersiap dan berpakaian rapi. Ia tak sarapan, hanya menyambar segelas teh manis hangat yang sempat ia buat. Pria itu tampak gagah dengan seragam kesatuan yang melekat di tubuhnya. Setelah semua di rasa siap, ia berangkat dengan sepeda motor sederhana miliknya menuju kantor tempatnya bekerja. Sebenarnya bukan di kantor ia bekerja, 10 jam kerjanya di habiskan di jalan,di emperan,atau bahkan di kawasan rawan. Masyarakat menyebutnya SATUAN POLISI PAMONG PRAJA atau SATPOL PP. Seperti biasa, setelah absensi dan apel pagi, ia bersiap untuk menjalankan tugasnya. Menertibkan,mensterilkan atau bahkan menggusur rakyat jelata yang hidupnya tak tertata. Amanat atasan akan di jalankan sesuai prosedur, tak peduli apa atau siapa yang akan di tertibkan.

 
Cacian, umpatan, atau hal-hal lain yang bersifat penolakan menjadi menu biasa dalam tugasnya setiap hari. Tak jarang pula ia harus menghadapi pria-pria tegap dan besar yang di lengkapi senjata tajam seolah hendak memukul mundur ia dan puluhan rekannya. Mungkin semua orang mengira ia sejahat itu, menggusur ratusan warga tak punya demi menuntaskan misi di apel pagi. Ia pun tak sekuat tenaga ketika berusaha merobohkan dinding non permanen milik warga. Ia pun sesungguhnya tak tega mengusir wanita-wanita tua yang seumur ibunya untuk memindahkan barang dagangan mereka. Semua demi tugas. Amanat atasan tak mungkin tak di jalankan. Ia butuh pekerjaan, dan menjadi SATPOL PP bisa menghidupinya meski harus mengusik hidup orang lain. Maka ketika setiap hari ia harus mengusir warga yang hidup liar, hanya hatinya yang menjerit :" Maaf saudara ku..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar