Senin, 16 Januari 2012

Loyalitas Yang Tak Terbeli


Minggu 23 Mei 2010. Sabtu malam waktu Eropa atau minggu dinihari waktu Indonesia. Di kota Madrid ibukota Spanyol tepatnya di Estadio Santiago Bernabeu seorang pemain bernomor punggung 4 tampak begitu emosional merayakan apa yang baru saja ia dan tim nya peroleh. Ya, Javier Zanetti yang juga kapten dari Inter Milan malam itu akhirnya menjuarai Liga Champions yang pertama bagi dirinya dan yang ketiga bagi Inter Milan. Zanetti terlihat berurai air mata sesaat setelah peluit tanda berakhirnya pertandingan  di tiupkan. Hal yang sangat wajar jika kita mencermati pengabdian nya bagi klub berjuluk IL Biscione tersebut. Pria yang lahir pada 10 Agustus 1973 di Buenos Aires Argentina tersebut sudah lebih dari satu dasawarsa berkostum biru hitam. Ia adalah pemain pertama yang di datangkan oleh presiden terpilih kala itu yaitu Massimo Moratti. 27 Agustus 1995 saat Inter melawan Vicenza adalah kali pertama ia tampil bagi Inter. Dan sejak saat itu rekening waktu bermain nya bagi Inter terus bertambah secara konsisten dari musim ke musim. Ketika Inter mengalami masa suram dimana scudetto tak kunjung di raih, Zanetti tetap setia dan bertahan. Ia tak pernah lelah memberikan semangat kepada rekan-rekan se tim nya ketika tim sedang terpuruk. Ia selalu percaya dan optimis bahwa suatu hari nanti impian akan gelar bergengsi pasti akan terwujud dan Zanetti benar-benar bisa merasa bangga malam itu di Bernabeu. Tak peduli banyaknya pelatih yang datang dan pergi mulai dari Gigi Simoni, Marcelo Lippi, Marco Tardelli, Hector Cuper, Roberto Mancini hingga Jose Mourinho semuanya tetap mempercayakan satu tempat bagi Javier Zanetti di starting line-up. Ia seolah terlahir hanya untuk Inter Milan. Maka tak heran ketika bek legendaries Inter yaitu Beppe Bergomi gantung sepatu, hanya lengan Javier Zanetti lah yang paling pantas mengenakan ban kapten bahkan hingga partai puncak Liga Champions malam itu. Zanetti malam itu seolah sudah selesai menjalankan semua tugasnya, mulai dari scudetto bahkan hingga 4x berturut-turut, Coppa Italia,Piala Super Italia, Piala Uefa hingga akhirnya Piala Liga Champions sudah berhasil ia rengkuh bersama Inter Milan. Sebuah gelar yang menjadi impian Don Massimo beserta semua skuad di dalamnya dan tentu saja sebuah gelar yang sangat di nantikan oleh jutaan Interisti di seluruh dunia. Maklum, Inter terakhir kali merengkuh gelar itu sudah lebih dari 30 tahun yang lalu tepatnya tahun 1964. Tak heran muncul cibiran dari para Milanisti “ Inter hanya mampu meraih gelar Liga Champions sebelum manusia mendarat di bulan.” Tapi malam itu Inter Milan dengan Javier Zanetti di dalamnya menjawab semua kritikan soal kutukan Inter di ajang Liga Champions. Malam itu semua pengabdian dan loyalitas tak terbatas dari sang il capitano terbayar lunas. Dan akhirnya kita bisa melihat bahwa di era sepakbola modern seperti sekarang ini dimana kapitalisme mulai merasuki,masih ada sosok panutan yang tetap setia bersama klubnya. Masih ada pemain yang tak tergiur untuk pindah klub hanya demi kibasan setumpuk uang dan rayuan gaji selangit. Dan Javier Zanetti seolah memberi sebuah pelajaran bahwa kesetiaan yang di sertai pengabdian pasti akan berujung indah pada waktunya. Saya bisa membayangkan perasaan penyesalan luar biasa dari seorang Zlatan Ibrahimovic yang di awal musim kala itu memutuskan pindah ke Barcelona karena iming-iming gaji yang lebih tinggi. Ia memang juara liga bersama klub barunya tersebut, namun ia gagal memenuhi ambisinya menjuarai Liga Champions karena justru pindah ke klub lain dan sialnya klub yang menggagalkan Barcelona menjuarai Liga Champions adalah Inter Milan di babak semifinal. Sangat ironis. Satu keputusan bisa sangat berpengaruh bagi kehidupan si pengambil keputusan, dan keputusan Javier Zanetti untuk tetap setia dan mengabdi kepada satu klub yaitu Inter Milan berbuah trophy Liga Champions yang seorang Maradona sekalipun belum pernah meraihnya.


Selain Javier Zanetti yang begitu loyal terhadap klubnya, masih ada nama-nama lain yang patut mendapat apresiasi atas kesetiaan nya. Kita wajib menyebut satu nama yaitu Paolo Maldini. Pemain yang terlahir dengan DNA Ac Milan. Seluruh karier sepakbolanya di habiskan hanya untuk I Rossonerri. Tak perlu di tanya berapa gelar yang ia raih bersama AC Milan. Keputusan dari Ac Milan untuk mempensiunkan nomor punggung 3 sudah cukup menggambarkan betapa besarnya pengabdian Maldini bagi klub tersebut. Dan nomor 3 itu hanya boleh di kenakan kembali oleh dinasti Maldini berikutnya. Lalu ada nama Francesco Totti. Julukan nya tak main-main, Pangeran ibu kota…!!! Il Principe Totti adalah didikan asli AS Roma dan melakukan debutnya untuk tim senior sebagai pemain pengganti pada 28 Maret 1993 saat melawan Brescia. Dan 18 bulan berselang atau lebih tepatnya pada 24 September 1994 ia mencetak gol pertamanya bagi AS Roma kala menghadapi Foggia yang berakhir dengan skor imbang 1-1.  Mulai saat itu seiring dengan berkembangnya bakat yang ia miliki,Ia menjadi adalah pemain paling berpengaruh bagi tim ibukota tersebut. Baik di dalam maupun di luar lapangan. Totti seolah tak tersentuh oleh pemain manapun yang datang ke AS Roma. Semua pemain berlabel bintang yang menjadi bagian AS Roma, seolah menjadi pemain biasa saja ketika sudah bermain bersama Totti. Bahkan muncul sebuah persepsi, “ saat datang pertama kali ke AS Roma, temuilah Francesco Totti, setelah itu baru temui sang pelatih.” Saya pribadi tak pernah membayangkan jika Totti bermain bagi klub lain. Juventus, AC Milan, Manchester United hingga Real Madrid pernah mencoba menjadikan Totti sebagai pemain incaran di bursa transfer. Namun sebelum terjadi nya negosiasi, Totti selalu menutup pintu keluar bagi dirinya sendiri. AS Roma adalah Totti dan Totti adalah pangeran nomor satu AS Roma. Jangan heran jika suatu hari nanti kita akan melihat dan mendengar kabar bahwa Totti akan menjadi pelatih atau bahkan presiden di klub berlogo serigala tersebut.


Dari tanah Inggris muncul satu nama yang pantas kita sebut. Ryan Joseph Giggs. Pemain kelahiran Canton Cardiff, Wales pada 29 November 1973 itu juga terbilang memiliki kesetiaan yang juga sensasional.  Sudah lebih dari 20 tahun ia berseragam Red Devils. 2 Maret 1991 di Old Trafford ketika menghadapi Everton, itu adalah kali pertama ia tampil bagi United. Dan yang menarik, gol pertama kali yang ia buat untuk United adalah ketika menghadapi sang tetangga Manchester City. Ia sudah memecahkan dan melewati rekor penampilan milik Sir Bobby Charlton yang berjumlah 758 kali penampilan. 11 gelar Liga Inggris, 4 Piala FA, 2 Piala Liga, dan 2 Piala Liga Champions adalah catatan prestasi mentereng milik Ryan Giggs seorang. Ia juga tercatat sebagai satu-satunya pemain di Liga Inggris yang selalu mampu mencetak gol di 11 musim secara berturut-turut. Fantastis. Sebuah rekor pribadi yang saya yakin bakal sulit  di samai atau di kalahkan oleh pemain manapun. Dan jika kita melihat asal negara Giggs yang sebetulnya tidak memiliki sejarah hebat di sepakbola, di tambah lagi posisi bermain nya yang membutuhkan stamina ekstra, nyata nya Giggs mampu bertahan dan tetap mendapat tempat serta bermain baik setiap kali di beri kesempatan oleh Sir Alex Ferguson. Bagi saya pribadi, ia lah “The King” Old Trafford yang sesungguhnya, bukan Eric Cantona seperti yang orang sering bicarakan. Atas semua kerja keras dan dedikasi nya terhadap sepakbola, ia mendapat gelar kehormatan dari Ratu Elizabeth ll. Saya berharap suatu saat nanti ketika Giggs akhirnya memutuskan gantung sepatu dari semua aktifitas sepakbola, Manchester United klub tempatnya mengabdi bersedia mempensiunkan nomor 11 milik The Real “King” Old Trafford, Ryan Joseph Giggs.


Selain nama-nama di atas, masih terdapat nama-nama lain yang bisa di kategorikan loyal terhadap klub yang di belanya. Carles Puyol dan Xavi Hernandez di Barcelona, Iker Casillas di Real Madrid, Alesandro Del Piero di Juventus dan nama-nama lain yang tak bisa saya ucapkan satu persatu. Saya selalu menaruh rasa kagum kepada para pemain yang memiliki dedikasi luar biasa terhadap satu klub yang di belanya. Tak bisa di pungkiri bahwa sepakbola dewasa ini telah menjadi komoditi bisnis,tak lagi soal olahraga mengolah si kulit bundar. Investor kaya raya mulai mencium aroma bisnis menggiurkan dari sepakbola. Tak heran bila pemilik klub sekarang berusaha sebisa mungkin membangun klub yang kompetitif tentunya dengan sokongan dana yang terbilang fantastis.  Setiap pemain yang di rasa kompeten di posisi nya di rayu dengan setumpuk uang agar mau berpindah klub dan melupakan loyalitas yang di era sebelumnya masih sangat kental di dunia sepakbola. Dan nama-nama di atas tadi tak terbawa dalam arus kapitalisme di sepakbola. Mereka termasuk kategori pemain langka di era sepakbola modern. Saya pun tak menyalahkan pemain yang berpindah klub karena rayuan uang dan iming-iming gaji selangit. Namun, apakah dengan berpindah klub karena uang semata sang pemain bisa merasa lebih bahagia dari keadaan di klub lamanya…??? Mengapa harus mengatas namakan mencari prestasi lantas berpindah klub dengan bayaran yang jauh di atas rata-rata…??? CR7 tentu tak hanya ingin mencari prestasi saja ketika memutuskan pindah ke tanah Spanyol. Toh ia sudah meraih gelar liga dan Eropa bersama Manchester United. Ada motif uang di sana dan Real Madrid mampu menyediakan itu untuk mendatangkan asset bisnis sepakbola di era modern itu.


Dan pada akhirnya, 10 tahun dari sekarang, saya pribadi mungkin akan merindukan sosok-sosok luar biasa seperti Javier Zanetti, Francesco Totti, Ryan Giggs dan nama nama lain nya yang begitu loyal terhadap klub yang di bela dan membesarkan nama mereka. Semoga nantinya ada nama lain yang muncul sebagai para pengganti dari nama-nama di atas tadi. Semoga masih ada pemain yang tak terbawa arus kapitalisme di sepakbola dan lebih memilih setia bersama klubnya ketimbang berpindah klub demi tumpukan uang semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar