Sometimes our lives are influenced by the point of view. and all that is written here is the way I saw everything was nothing from my own point of view.
Sabtu, 05 Mei 2012
Mendung di Catalunya
Dua hari pasca gagalnya
Barcelona berangkat ke Munich untuk menjalani laga final Liga Champions musim
2011-2012, atau lebih tepatnya setelah tersingkir oleh Chelsea di babak
semifinal, kota Catalunya di gelayuti awan mendung dan suasana yang tidak bisa di
bilang kondusif. Publik sepakbola di sana masih terluka oleh kekalahan dari
rival abadi mereka Real Madrid di el clasico edisi 250. Lalu selang 3 hari
kemudian giliran pasukan The Blues dari London yang memupus harapan mereka
menjadi juara bertahan di ajang tertinggi antar klub di benua biru. Blaugrana
memang tidak kalah dari Chelsea di Camp Nou, tapi hasil 2-2 yang mereka raih
sama sekali tak mampu membuat mereka berangkat ke Munich karena di leg pertama
mereka kalah tipis 0-1. Dan seperti yang terjadi di tim sepakbola manapun di
seluruh dunia, ketika sebuah tim mengalami rentetan hasil negative, maka sosok
pertama yang di kambing hitamkan adalah sang pelatih. Dalam hal ini Joseph
Guardiola berada di posisi tersudut atas hasil yang sebenarnya di luar prediksi
para pengamat sepakbola. Kalah atau menang dalam duel panas el clasico memang
hal yang tergolong biasa, tapi jika kekalahan itu berakibat pada pupusnya
harapan mereka meraih gelar La Liga, tentu fans Barca sangat kecewa. Fans
fanatik Barca di Catalunya masih memegang teguh idiom klasik berbunyi, “
bolehlah kalah oleh tim manapun, tapi tidak kalah dari Madrid apalagi jika itu
di Camp Nou”. Maka ketika Alberto Undiano Mallenco sang pengadil di el clasico
meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir, tidak sedikit fans Barca
mencemooh Pep dan meneriakkan suara tidak puas atas kinerja Pep malam itu.
Mereka masih tak percaya tim kesayangan mereka di permalukan pasukan Mourinho
yang dulu sempat menjadi bulan-bulanan mereka dengan skor mencolok 5-0. Kekalahan dengan skor tipis yang justru
menjadi sangat menyakitkan karena berimbas kepada perburuan mereka menuju
singgasana La Liga.
Tidak berselang lama, pasukan
Pep di hadapkan pada partai penting lain nya, semifinal leg kedua Liga
Champions. Barca butuh kemenangan dengan margin 2 gol agar mampu menyisihkan
Chelsea dari turnamen yang belum pernah mereka menangkan. Nyaris 70-80%
penggemar sepakbola di seluruh dunia meyakini bahwa pasukan Blaugrana akan
mampu mengalahkan pasukan caretaker Roberto Di Matteo yang ketika menjadi
pemain sempat merasakan pahitnya bermain di Camp Nou karena tim yang ia bela
kalah telak 1-5. Seperti yang sudah di duga, sejak awal Barca langsung
mengambil inisiatif serangan dan menggempur lini pertahanan Chelsea. Dan
sebagai tim tamu yang hanya butuh hasil imbang, Chelsea pun menerapkan strategi
bertahan total yang oleh para pengamat seperti memarkir bus bahkan pesawat di
wilayah pertahanan nya agar Barca tak
mampu menciptakan peluang emas yang bisa berbuah gol. Banyak pihak yang mengkritik
bahkan mencibir pola yang di terapkan Di Matteo malam itu, tapi ketika anda
menghadapi salah tu tim terbaik di dunia yang butuh banyak gol maka tak ada
cara lain yang bisa tim anda lakukan selain bertahan total. Hanya pelatih bodoh
yang meladeni permainan Barca dengan permainan terbuka. Dan Di Matteo tentu
belajar dari Mourinho ataupun pelatih lain yang mampu setidaknya meredam
agresivitas Barca. Penguasaan bola yang jomplang antara Barca dan Chelsea hanya
tinggal soal statistik belaka karena pada akhirnya Chelsea mampu mencetak 2 gol
away dan gilanya itu terjadi dalam kondisi Chelsea bermain dengan 10 pemain
saja…!!! Sungguh malam yang tidak menyenangkan bagi Pep. Ketika ia butuh
kemenangan untuk kemudian lolos ke final, Pep justru seperti mendapat tamparan
kedua nya dalam sepekan. Kekecewaan public Catalan atas hasil el clasico yang
sebelumnya belum benar-benar sembuh, justru semakin mendalam karena kegagalan
lolos ke final malam itu. Jumlah passing antar pemain yang mencapai angka 550
lebih tak mampu merubah fakta papan skor bahwa hasil imbang lah yang mereka
dapatkan. Dan Pep Guardiola tahu bahwa semua pola dan strategi yang ia terapkan
untuk Barca sejak kedatangan nya di 2008 tak lagi ampuh untuk membongkar pola
pertahanan super defensive yang di terapkan Chelsea.
Dan saat yang paling di
takutkan sekaligus paling di nantikan itu pun tiba. Bertempat di ruang media
stadion Camp Nou, Barcelona mengadakan
jumpa pers untuk menjawab sekaligus mengklarifikasi segala isu-isu yang mengatakan
bahwa Guardiola akan lengser dari kursi kepelatihan nya karena gagal memenuhi
ekspektasi publik. Dan benar saja, secara resmi Sandro Rosell selaku presiden
El Barca mengumumkan bahwa Joseph Guardiola tak lagi menangani Blaugrana di
musim mendatang. Nama Tito Villanova muncul sebagai entrenador anyar Barca di musim 2012-2013.
Tito sendiri bukanlah nama yang asing bagi Barca, karena selama ini pun ia
adalah asisten pelatih dari Guardiola. Dan Tito pula lah orang yang menjadi
korban aksi kejahilan tangan Jose Mourinho di duel el clasico 2010-2011.
Dari rentetan kejadian yang
berujung pada mundurnya Guardiola, entah mengapa saya jadi teringat sebuah
kutipan dari buku biografi Zlatan Ibrahimovic yang berjudul “ I Am Zlatan”.
Pada satu bab Ibrahimovic berujar “Saya meninggalkan tim terbaik dunia, tapi
ada satu orang di sana yang punya masalah dengan saya. Ia bukan laki-laki
karena tak memberi tahu saya apa masalahnya. Namun tanpa mengetahui apa
masalahnya, biar saya yang bersikap jantan dan angkat kaki.” Kata “ia” yang di maksud
Ibrahimovic tidak lain dan tidak bukan adalah Pep Guardiola. Ibra memang pergi
dari Barca bukan karena performa nya yang buruk tapi karena ia terlibat masalah
dengan Pep. Jika kita menyimak sepak terjang Pep dan juga mendalami ucapan Ibra
tadi, kita bisa menarik satu benang merah bahwa Guardiola adalah pelatih hebat
dengan segala hal yang di milikinya, tapi Guardiola juga memiliki sisi lain
yang cenderung negative yaitu ia sangat introvert bahkan terhadap anak asuhnya
sendiri. Ia bisa terlihat begitu akrab dengan Messi, Xavi atau Iniesta. Tapi di
waktu yang lain, kita tidak pernah melihat keakraban Pep dengan Yaya Toure,
Maxwell atau Alexander Hleb. Dan ketiga pemain yang saya sebutkan tadi sudah
meninggalkan Barcelona meskipun masih memiliki kualitas yang layak untuk
bermain di Camp Nou. Dari dua rentetan hasil negative yang di dapat Barca dan
berujung gagalnya mereka meraih gelar yang mereka incar sejak awal musim,
terlihat bahwa Barca tidak memiliki skuad yang cukup dalam untuk bertarung di
berbagai ajang dengan level tinggi. Pep jelas berjudi besar ketika menurunkan
Tello dan Thiago di el clasico. Ia juga terlihat memaksakan memainkan Cuenca
kala menghadapi Chelsea dengan maksud tampil lebih menyerang tapi justru
menjadi boomerang karena komposisi itu menimbulkan lubang menganga di lini
tengah yang akhirnya mampu di manfaatkan Chelsea lewat serangan balik cepat dan
efektif. Yaya Toure kini menjadi bagian penting dalam kemajuan Manchester City,
dan saya jadi membayangkan jika saja ada sosok berkualitas seperti Yaya Toure
di skuad Guardiola mungkin Barca tak hanya sekedar mendominasi pertandingan
tapi juga mampu mengahabisi lawan dengan kekuatan di lini tengah.
Muncul sebuah pertanyaan yang
menggelitik pikiran saya, mundurnya Guardiola sebagai pelatih Barca itu bentuk
jiwa ksatria atau malah bentuk ketakutan Guardiola akan tekanan super besar
yang bakal ia terima jika tetap bertahan sebagai pelatih di sana…??? Hanya
Guardiola yang tahu jawaban pastinya. Yang jelas bagi saya pribadi Guardiola
mundur karena ia sadar ia telah gagal memenuhi ekspektasi tinggi public
sepakbola Catalunya pada khususnya dan public sepakbola dunia pada umumnya.
Atau Guardiola mundur bisa saja karena ia memang bukan sosok yang kuat menghadapi tekanan dan ucapan Ibra ada
benarnya jika Guardiola itu pengecut dan tak cukup kuat untuk bersikap jantan
sebagai pelaku sepakbola.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar