Di sebuah buku berjudul Fever Pitch,
Nick Hornby sang penulis menggambarkan bahwa ketika kita mencintai sepakbola,
itu sama hal nya seperti kita mencintai seorang manusia lawan jenis kita tanpa
pernah mempedulikan berbagai kemungkinan sakit hati yang menunggu kita di akhir
cerita.
Ketika seseorang memutuskan untuk
melabeli diri mereka dengan label penggila sepakbola, secara tidak langsung
seseorang tersebut harus siap menerima segala resiko suka ataupun duka dari
yang terjadi di dunia sepakbola. Seorang penggemar sepakbola akan mengalami
suatu sisi emosional tingkat tinggi atas apa yang di cintai nya. Antusiasme,
optimisme, euforia seperti berada di satu sisi yang saling membelakangi dengan
skeptis, pesimisme dan kekecewaan yang mendalam. Dan gilanya, semua penggila
sepakbola di seluruh dunia justru menikmati fase naik turunnya letupan
emosional dalam dirinya atas apa yang telah di lakukan dengan baik oleh
sepakbola.
Sepakbola punya plot cerita baku dalam
menyenangkan sekaligus mematahkan hati kita sebagai penggila nya. Di awali
skeptisme yang cenderung meremehkan, lalu harapan tiba-tiba muncul di iringi
segala aspek pendukung yang makin membuat penggila nya yakin bahwa harapan itu
selalu ada. Kita kadang terlalu cepat larut dalam euforia kemenangan padahal
hari pertandingan masih berupa lusa. Kita terus memanjatkan doa lewat berbagai
media hingga pertandingan yang kita tunggu di mulai, saat itu optimisme kita
mulai membumbung tinggi entah kemana, dan saat sedang enak-enak nya terbuai
dalam kemenangan sesaat, dengan sekali tiupan kecil sepakbola menjatuhkan kita
dari ketinggian yang keterlaluan. Sepakbola melakukan sekali lagi tugas nya
dengan baik. Memberikan harapan sekaligus menghempaskan nya.
Mari kita ambil contoh atas apa yang
saya maksud di atas dengan apa yang baru saja terjadi pada 23 Maret 2013 di
ibukota Indonesia. Indonesia vs Arab Saudi di Stadion Utama Gelora Bung Karno
dalam lajutan kualifikasi Piala Asia 2015 yang akan berlangsung di Australia.
Beberapa hari sebelum match tergelar, pemain yang di panggil untuk memperkuat
Timnas kali ini adalah pemain yang di anggap paling berkualitas karena berasal
dari kompetisi yang juga katanya terbaik yaitu ISL. Antusiasme muncul ke
permukaan di barengi optimisme akan kemenangan yang selama ini di rindukan. Doa
di panjatkan jutaan rakyat lewat berbagai media hingga ke ranah facebook,
twitter dan social media lain nya. Internet berkecepatan tinggi memang bukan
perkara besar di surga, tapi Tuhan sepertinya sulit menemukan waktu untuk
membuka akun twitter nya untuk membaca semua doa yang di sertai hastag Forza
Indonesia.
Pertandingan di mulai, optimisme masih
memihak dan sepertinya euforia akan gol cepat Boas Salossa akan berlangsung
hingga akhir pertandingan. Seisi GBK percaya bahwa tuan rumah yang berkostum
merah akan memetik 3 angka pertama nya sekaligus menghidupkan peluang lolos ke
turnamen yang belum pernah di menangi Indonesia. Lalu yang di takutkan terjadi,
tiupan kecil yang menghempaskan itu berhembus perlahan di menit ke 14. sang
tamu menyamakan kedudukan. Di momen itu, kita belum terhempas secara telak.
Kita masih terbalut optimisme namun dalam posisi emosional yang merosot
perlahan. Dan di menit ke 55 babak kedua, secara drastis semua seisi GBK
pendukung Garuda ramai-ramai terjatuh dari ketinngian yang keterlaluan hingga
kembali ke bumi dan tersadar dalam kenyataan. Indonesia tertingal. Seperti
biasanya, namun kita lupa membiasakan nya.
Saat sang pengadil asal Korea, Kim Jong
Hyoek meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir, itulah saat dimana
semua harapan beserta komplotan ekspektasi tinggi kita sebagi penggila
sepakbola yang mendukung Timnas Indonesia memasuki atmosfir bumi. Optimisme
menjelang laga 90 menit yang baru saja berlalu terbakar hangus dan hancur
berhamburan ke penjuru GBK. Anda kecewa, terpukul atau bahkan patah hati? Jika
iya, berarti kita saudara senegara.
Sebagai pendukung Timnas Indonesia,
saya dan anda tentu sudah paham betul bagaimana modus operandi menyakitkan hati
ini. Kembali merasakan kekalahan ketika semua aspek sepertinya mendukung untuk
menghadirkan kemenangan. Tapi di sini lah yang menakjubkan dari seorang
penggila sepakbola. Kasih sayang semua penggila sepakbola tak terbatas, agape
tanpa syarat atau embel-embel berwujud timbal balik. Kita mengantri tiket dan
membeli, hadir lebih awal saat hari pertandingan, kehujanan, berdesak desakan
hingga kesulitan mencari posisi duduk di dalam stadion. Itu semua tulus. Kami
sebagai penggila, penggemar atau apapun lah namanya mengharapkan kemenangan,
namun ketika sabtu lalu hal itu belum di rasakan, kami tak menuntut
pertanggungjawaban atau pengembalian dalam bentuk apapun.
Sesaat sebelum meninggalkan tribun
sektor 7 pada sabtu lalu, teman saya sempat berujar, “Gpp lah kalah, Indonesia
tadi maen nya udh bagus kok. Gak kalah telak kita, gak terlalu malu-maluin
lah.” Saya yang kebetulan mendengar nya lalu menjawab meski dalam hati, “ loser
is a loser” pecundang ya pecundang. Saya tak akan menyalahkan siapa-siapa atas
kekecewaan di malam itu karena toh saya
sendiri yang menempatkan diri saya dalam lembah percobaan dengan terus
mendukung Timnas Indonesia. Jika malam itu saya memaki, mencaci atau bahkan
menghujat permainan dari kumpulan pemain negeri ini, sebaiknya anda tak perlu
terlalu peduli, anda pun tak perlu memasukan nya ke dalam hati, karena apapun
yang terjadi, saya akan selalu kembali mendukung Indonesia dengan sepenuh hati.