Sebagai
pembuka, saya ingin menegaskan satu hal, saya bukan Manchunian. Saya juga bukan
satu dari sekian banyak member Red Army yang tersebar di seluruh dunia. Saya
juga kebetulan sampai saat tulisan ini di ketik belum kesampaian untuk memiliki
salah satu jersey kebanggaan milik Manchester United yang jika saya memang
harus miliki, maka jersey itu harus bertuliskan Paul Scholes.
Tapi
tanpa bermaksud lebay, saya termasuk dari sekian banyak orang yang bersedih
ketika mendengar keputusan bahwa Sir Alex Ferguson akan berhenti melatih klub
yang di pegang nya selama 26 tahun terakhir ini. Saya secara tidak sadar
merinding sekaligus tercengang ketika melihat Fergie masuk ke lapangan sesaat
setelah partai Mu vs Swansea berakhir. Fergie masuk ke tengah lapangan yang
mungkin setiap inchi nya ia kenali dengan dekorasi guard of honour yang sungguh
menggetarkan. Saat itu semua orang bertepuk tangan, tak sedikit yang menyeka
air mata yang mungkin sudah bercampur dengan air muka. 26 tahun jelas bukan
rentang waktu yang sebentar untuk seorang pria yang bahkan bukan berasal dari
Inggris namun sangat sukses menjadikan sebuah klub asal Inggris menjadi begitu
di takuti sekaligus di gemari. Dan saat itu, saya sepakat melabeli hari pensiun
nya Sir Alex Ferguson adalah hari berkabung bagi sepakbbola dunia.
Melihat
bagaimana rekasi para penggila setan merah Manchester United atas pensiun nya
Sir Alex Ferguson, saya secara tidak langsung seolah di berikan gambaran
bagaimana rasanya dan akan menjadi seperti apa suasana nya jika hari pensiun
nya seorang Javier Adelmar Zanetti tiba. Ya, nama latin yang baru anda baca
barusan adalah nama seorang pemain yang sudah memasuki usia 40 tahun dan masih
bermain sekaligus menjabat kapten di timnya, Inter. Membayangkan hari pensiun
JZ4 tiba saja saya sudah bergidik ngeri apalagi jika hari itu benar-benar sudah
tiba.
Saya
seorang pria namun saya bisa pastikan saya akan menitikan air mata bila nanti
JZ4 selesai melakoni partai terakhir nya bersama Inter. Saya dan puluhan bahkan
ratusan Interisti di lokasi nonbar nanti pasti akan berdiri rapuh sambil terus
meneriakkan “Un capitano, ce’ solo un capitano.” Guncangan jiwa kehilangan
sosok teladan macam Javier Zanetti mungkin akan jauh lebih dahsyat ketimbang
guncangan orgasme seusai bercinta di
sertai foreplay yang menggelora. Ah, rasanya tak siap jika JZ4 pensiun, tapi
waktu tidak pernah berdetak ke kiri dan menurun nya kualitas JZ4 di usia ke 40
jelas tak akan bisa di pungkiri.
Segala
macam prestasi tim atau pribadi yang pernah di raih JZ4 tak akan saya bahas
tuntas di sini. Saya pribadi memandang sosok JZ4 adalah pemain yang memang haus
akan gelar, namun lebih daripada itu JZ4 adalah sosok pemain yang hanya ingin
terus bermain, tak peduli ia akan di tempatkan di posisi apa. JZ4 mencintai
sepakbola bukan karena apa yang akan ia raih, namun ia mencintai sepakbola
dengan apa yang ia bisa berikan. Tak heran jika ia tidak meradang atau protes
ketika Mourinho di medio 2008-2010 menggeser posisi nya lebih ke tengah saat
Maicon menjadi andalan Mou untuk mengisi pos bek sayap kanan. Dengan kebiasaan
Opa Moratti yang loyal dan saat itu sepenuhnya mendukung Mourinho demi ambisi
menjuarai UCL, tentu tidak sulit bagi Inter dan Mourinho untuk mendatangkan
gelandang nomor wahid untuk mengisi lini tengah Inter. Namun, opsi mendatangkan
gelandang mumpuni yang sempat ramai di
beritakan media kala itu akhirnya hanya menjadi gosip sampah karena saat itu
Mourinho punya JZ4 di tim nya yang sanggup mengisi pos tersebut dengan baik.
Ketika posisi asli JZ4 di isi pemain lain yang saat itu sedang on fire, ia
lebih memilih menjalani tugas baru nya sebaik mungkin sebagai gelandang
ketimbang duduk manis seraya mengunyah permen karet di bangku cadangan.
27
April 2013 lalu kala Inter menjalani laga tandang melawan Palermo, JZ4 bertemu
musuh bersama para pesepakbola professional. JZ4 cedera. Cedera yang harus
memaksa nya menepi dan sementara menghentikan rekening jumlah bermain nya
bersama Inter. Dokter memperkirakan dalam 8 bulan sejak hari naas itu, JZ4
tidak akan di perbolehkan melakukan satu halJ yang sangat ia cintai. Lalu
muncul sebuah pertanyaan klasik, “ Inikah waktu nya bagi Javier Zanetti
pensiun???”. Saya sendiri tidak punya jawaban pasti untuk pertanyaan tersebut.
Jawaban saya bersayap, bahkan mungkin akan terdengar sok bijak meski saya tak
sebotak Mario Teguh. Apapun yang akan terjadi pada karier Javier Zanetti
setelah cedera itu, saya hanya akan bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan
di berikan kesempatan menyaksikan karier hebat seorang Javier Zanetti. Saya bersyukur di beri teladan nyata tentang
kesetiaan seorang pemain terhadap klub yang ia cinta serta kesetiaan nya
terhadap model rambut yang ia pilih. Jika anda masih meragukan kadar kesetiaan
seorang Javier Zanetti, silahkan bertanya pada Nyonya Paula De La Fuente yang
sudah memberi nya 3 jagoan hasil karya ranjang Zanetti, Sol, Ignacio dan Tomas.
Sebagai
penutup, saya ingin mencantumkan kutipan kalimat yang luar biasa dari seorang
Javier Zanetti
“ it was the first
team to open the doors of European football. I was very young when I came here
and I think not many teams could have had so much faith and patience with a boy
in his early 20s from the very first day like Inter did with me. I will always
be grateful for that. For some reason, I HAVE ALWAYS FELT AT HOME HERE AT INTER
AND THIS IS WHY I HAVE NEVER THOUGHT OF LEAVING.”
Note : Penulis adalah seorang
Interisti yang lahir tepat 16 tahun setelah lahirnya Javier Zanetti, suatu kebetulan
yang membanggakan… Hahaha.